KETIKA YANG PAKAR MALAH DIABAIKAN




(Photo: Pinterest) 

Dalam buku Tom Nichols “The death of expertise” matinya kepakaran, kelihatannya menggugat persoalan body of knowledge tubuh pengetahuan artinya terlalu bebas mengakses pengetahuan. Jika difikir lagi malah tambah memperparah keadaan. 

Karena manusia akan dibatasi untuk mengekspresikan pengatahuannya, jadi tinggal kesadaran yang mesti dibangun, kenapa? Jika semua orang bisa mengakses pengetahuan mestinya sadar diri dong, dari siapa pengetahuan ini dan pada posisi apa saya mendapatkannya lalu apa manfaatnya. Meminjam bahasa Budiman sudjatmiko, ini  bukan hanya persoalan matinya kepakaran, namun juga sebuah tragedy matinya kewarasan.

Tom Nichols mengatakan ”ini adalah masa-masa yang sangat berbahaya belum pernah begitu banyak orang memiliki pengetahuan lebih namun sangat enggan mempelajari apapun” ada point penting yang menarik diperhatikan, ketika Tom Nichols bermaksud bahwa akses pengetahuan kepada orang itu lebih akurat ketimbang akses kepada pengetahuan itu sendiri

pernyataan ini membabat habis internet dengan segala maha tahunya. Internet tidak menghasilkan pengetahuan dari orang, melainkan mesin. Teringat perkataan guru saya “lain to me’guru anna to meannangguru” beda orang yang belajar saja dengan orang yang belajar dengan guru.

Sebuah contoh kecil, pengetahuan agama yang penuh dengan teori dalil, jika dibandingkan dengan pemahaman agama yang bisa membangkitkan emosi masyarakat, tentu kita lebih memilih pengetahuan yang berbasis massa, mampu menggerakkan emosi masyarakat. Sebab menurut Tom Nichols saya ulang kalimatnya “ukurannya adalah pengetahuan yang punya akses kepada orang, bukan pada pengetahuannya”

Jika ditelisik lebih jauh, necessary scientific sudah lama difahami oleh orang tua kita dikampung. Mereka percaya mistis dan aturan alam yang disebut pamali. Kenapa demikian? Mereka tidak butuh akses kepada pengetahuan, mereka mengutamakan akses kepada orang lain. Perkara itu ilmiah atau tidak bodoh amat, yang jelas itu membawa manfaat besar kepada orang lain. 

Contoh dalam masyarakat mandar kita kenal aturan pamali, tidak boleh mencukur malam hari, tidak boleh kencing berdiri, tidak boleh telungkup jika tidur, tidak boleh ini dan itu. Mereka membuat aturan pamali itu atas dasar akes kemanusiaan, agar terhindar dari keburukan.

Atau larangan orang tua untuk tidak pergi ke gunung tertentu, disebutkan karena daerahnya angker banyak penunggunya disana. Sudah banyak orang dari sana sakit sakitan, bahkan meninggal dunia. Sains datang dan melihat ternyata di gunung tersebut banyak kandungan uraniumnya, sehingga bisa mengganggu sistem pernafasan, tentu tidak bagus untuk kesehatan masyarakat. Apa itu? Pengetahuan yang berakses kepada orang.

Bahkan sempat viral, semua warga berbondong- bondong menyiapkan akses air di depan rumahnya lengkap dengan sabunnya, itu untuk mencegah penularan covid-19. Padahal dulu di mandar setiap rumah itu ada gusi (wadah air yang terbuat dari tanah liat). Maksudnya adalah jangan membawa penyakit masuk kedalam rumah. 

So, semua yang dilakukan orang tua kita dulu meskipun berbau mistis dan sangat susah dikodifikasi, tetapi akses kepada manusia lain itu sangat dijunjung tinggi, dan ini yang dimaksud tom Nichols dalam bukunya bahwa pengetahuan mesti  punya akses pada kemanusiaan.

Internet menyediakan pengetahuan yang tidak termodifikasi dan akses ke orang ini diviralkan ke media social, konsekwensi logis pasti bisa dinikmati dan dikomsumsi banyak orang, sama ketika anda membaca tulisan ini di blog saya. Maka pertanyannya, manakah yang merubah keadaan seseorang ketika membacanya? 

Demikian adanya karena internet tidak memandang anda pakar atau awam, semua  bisa mengakses, lebih celaka lagi semua bisa berbicara dan komentar tanpa dasar keilmuan. Tentunya jika orang awam berkomentar pasti sok tahu pada hal yang bukan bidangnya, dan pasti meresahkan bahkan menyesatkan pemikiran orang, ini juga bahaya diantara pidana pidana lainnya, sayangnya kebodohan belum menjadi kategori pidana.

“kebodohan belum menjadi pidana, hanya beberapa jenis kebodohan yang bisa dipidana yaitu ujaran kebencian” kata budiman sudjatmiko pada diskusi philosopi underground. Misalkan jika ada ceramah agama yang pembahasannya  sama sekali tidak menghina Agama, Negara, Presiden dan masyarakat namun menghina ilmu pengetahuan seperti bahasa “Dajjal akan turun menggunakan kendaaran UFO”  tidak dipidana. Sebuah pernyataan tidak dilandasi dengan data, dalil dan keilmiahan akan mencederai akal sehat kita. Lebih bahaya jika pernyataan itu banyak diikuti oleh masyarakat dan mengabaikan ahlinya.

Dalam kondisi seperti itu, tahu tidak siapa orang pertama kali sakit hati? Ya pasti yang pakar dong. Coba bayangkan, bertahun tahun belajar menghabiskan banyak biaya, tenaga, waktu untuk memperoleh pengetahuan otentik. Jika pengacara harus kuliah empat tahun dulu sebelum mengikuti PKPA belum lagi magannya. 

Jika Ulama, dia rela tinggal di pondok yang sangat sederhana mulai dari kecil sampai dewasa terus menerus belajar non stop dengan otak yang berdarah darah menghafal dan memahami kandungan Qur'an Hadits, mata membengkak dan tubuh kurus kerempeng karena jatah tidur disita oleh waktu belajar, belum lagi latihan spritualnya dengan banyak tantangan. Ehh, tiba dikampung lalu bersuara langsung dibantah oleh orang yang tidak pernah belajar agama, atau belajarnya di youtube. Hahaha, kebayan gak sih sakitnya itu.

Era media social hari ini, banyak masyarakat yang pas-pasan pada sebuah disiplin ilmu namun radikal dalam bersikap. Orang seperti ini akan mengacak-acak tradisi keilmuan. Mestinya dibalik, radikal dalam berfikir namun toleran dalam bersikap, agar bisa melahirkan pengetahuan yang otentik. 

Tatanan bermasyarakat harusnya diisi oleh orang yang lahir dari pertarungan gagasan dan ide. Bukan dari pertarungan debat kusir di media karena kurang pengetahuan, mandar menyebutnya “mappasibatta kowi kundu”

Tom Nichols juga menyindir kaum intelektual yang hanya bicara normative hampa dialektika dan tidak kritis, sehingga tidak ada ruang debat ilmiah. Salah satu maksud tom Nichols matinya kepakaran adalah kita kebanyakan mengagumi orang baik namun tidak kritis dalam berfikir. 

Dalam sebuah pengantar tom Nichols menyebutkan tujuan menulis buku itu karena kekhawatirannya melihat tradisi keilmuan hari ini. Dia berkata “saya menulis buku ini karena merasa khawatir, kita tidak lagi memiliki argument yang berbasi prinsip dan data”

Era media social berikutnya bukan sekedar pakar dan awam lagi, melainkan awam yang sudah memiliki massa nitizen yang banyak, dia ingin diakui oleh pengikutnya. Artinya dengan modal pengetahuan yang pas-pasan, dia ingin dibenarkan dalam perkataannya bahkan berani menentang pakar. 

Bayangkan aja, orang yang tidak pernah belajar ngaji kitab, tiba tiba lancar bicara agama, bahkan melawan ulama kaliber dan mengeluarkan fatwa sendiri, hahahaaha…. geli. Bukan hanya itu, mereka sudah berani menyesatkan mazhab tertentu dan mengkafirkan ulama tertentu.

Hadeuhhhhhhhhh……….


Puccadi, 2 mei 2020


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tips Berbahagia Ala Aristoteles

Hanya Homo Symbolicum yang Memahami USSUL

PESAN SAKTI RANGGAWARSITHA