SYUKUR PANENGAN FILOSOFI TARI MAPPADENDANG
(Wawancara Sang maestro Pua Asi)
Oleh:
Alan
Mentari minggu 14 juli 2019 bergelora, membakar jiwa di sambaliwali. Pegelaran hari ulang tahun dan tasyakuran desa mencapai titik puncak di seremonial pembukaan. Ada banyak yang ditampilkan dalam tema “Daulat Desa: Menjaga identitas lokal menuju desa maju, mandiri dan berdaulat” diantaranya pertandingan meliputi bola volly, redi papang, tennis meja, sepak takraw, tarik tambang ada juga tanding kesenian seperti jekka tarring dan pa’gasing. Pegelaran khas menyuguhkan jepa gollai, kain tenun mandar, gula semut aren, kripik singkong dan abong dari anjoro (kelapa).
Lakon rakyat juga menghiasi acara gelar sendratasik “Hikayat lumbung pangan” oleh rakyat sambali wali. Dialog “refleksi UU Desa No 6/2014 tantangan kedaulatan pangan reforma agraria” oleh inovasi perempuan desa. Selain itu juga menampilkan kesenian panggung yaitu pappadendang, passayang-sayang, paccalong, parreka-reka, parrawana towaine, tari pattuqduq dan sebagainya. Dalam tulisan ini tidak berbicara tentang gemuruh acara harlah, juga bukan pada konten acaranya. Tari mappadendang, sebuah kesenian yang menjadi khas tersendiri, mengalir membentuk irama harmoni namun syarat dengan makna. Itu yang akan saya ulas, pada tulisan singkat ini.
Tari mappadendang adalah kesenian yang diekpresikan dalam bentuk kesyukuran petani atas hasil panen, maka disebutlah dia dalam bahasa mandar “Budaya panengan”. Namun tidak semua tanaman menjadi tolak ukur ungkapan seni tari mappadendang. Para leluhur memulai mappadendang dengan tanaman padi atau mandar menyebutnya “pare”. Diksi pare lebih universal ketimbang padi, sebab pare bisa hidup dimana-mana, meskipun bukan sawah menjadi lahannya. Setelah istilah sawah dikenal, maka penyebutan spontan berubah menjadi padi. Pungkas sang maestro Pua’ Asi.
Lalu apa hubungan antara tanaman padi dan tari mappadendang? Ketika dua elemen ini bertemu dalam satu kesenian, maka membentuk satu formasi yang disebut “Situndang appeq” saya mengartikannya “Harmoni empat” (maaf jika terjemahannya garing) diambil dari jumlah kaki kuda yang harmoni ketika berlari. Situndang appeq dalam kaki kuda menjadi salah satu nilai khas/fashl/diferensia pembeda dengan hewan lainnya. Empat kakinya semua berfungsi dan menciptakan gerakan yang artistik, biasa terjadi pada sayyang silumba (kuda lomba lari), atau sayyang pattuqduq (kuda menari). Saya tidak tahu apakah juga pada sayyang pattekeq?
Dalam harmoni irama yang mirip dengan nada kaki kuda, dikombinasikan dengan tari mappadendang dengan tarian elegant, ada nada irama yang syahdu membuat merinding pendengarnya. Tempat menciptakan nada situndang appeq, bukan di tanah tempat pijak berlari kuda, melainkan di palungan. Apa itu palungan?, yaitu tempat menumbuk lumbung padi setelah memanen. Palungan adalah diksi yang mengandung dua makna (musytarak lafzhi), yaitu kampung dan tempat menumbuk padi. Sementara kampung palungan terbentuk karena ditemukan batu yang berbentuk palungan. Namun Pua Asi mengatakan palungan sebagai tempat, itu tercipta di palungan sebagai kampung.
Tari mappadendang digelar saat panen padi, itupun tidak serampangan memilih padi yang layak. Ahli tanah pertanian, mandar menyebutnya “So’bo/sando pare” bekerjasama dengan tetua adat dan tokoh masyakarat menentukan padi yang layak atau tidak layak, diukur dari batang padi apakah berbentuk marepe’ (bambu) atau tidak. Jika tidak maka belum bisa digelar. Jika sudah ada padi yang berbatang menyerupai bambu, maka secara gotong royong dibuatlah palungan untuk menyimpan. Setelah memanen ada istilah yang disebut pallu’dai (mallu’da) sebelum istilah mappadendang. Padi yang hendak ditumbuk, dimasukkan dalam palungan sebanyak sepuluh ikat, dikelolah oleh empat unsur dari pabbicara, tomauwweng matappa, pappuangan dan so’bo.
Ketentuan so’bo (sando pare) juga sangat ketat dan selektif alam. Ada beberapa peraturan individual dari so’bo, jika dilanggar, dengan sendirinya jabatan so’bo akan runtuh dan lepas dari seseorang. Peraturan pertama adalah untuk yang jomblo, tidak bisa meminang perempuan sebelum tumbuh padi sehat dan indah. Kedua, tidak bisa membakar apapun di lingkungan masyarakat termasuk sampah atau rumput kebun, sebab itu akan mendatangkan kemarau panjang. Jika itu dilakukan dirumah dengan niat kebersihan dari sampah atau rumput yang mengganggu rumah, itu dibolehkan. Ketiga, tidak boleh memanjat pohon apapun jika mengenakan songkok adat (mitteke sola adaq), karena berbentuk cacian terhadap makhluk lain seperti serangga, dan itulah alasan mereka tersinggung dan meluluhlantahkan tanam-tanaman.
Selain denda jabatan so’bo hilang, juga ada kerbau harus menjadi korban dan si pelanggar bertanggungjawab atas kerbau dan segala macam biayanya. Meskipun ada masyarakat yang menayakiti, memarangi (mambatta) kerbau, tetap si pelanggar jua yang kena sanksinya. So’bo setara dengan penyebutan menteri pertanian, bukan perkebunan. Pekebun dia yang mengelola lokasi, sementara petani dia yang menentukan jenis tanam-tanaman untuk ditanam. Sehingga tugas petani lebih berat sebab dia akan memilah-milih jenis tanaman yang cocok ditanam. Juga menentukan waktu tepat untuk menanam, serta memahami makna tanah hidup dan tanah mati secara pilosopis mistis.
Jenis padi yang berbatang menyerupai bambu juga sering dikenal masyarakat “indo pare” ibu padi. Itu menjadi prasyarat menggelar tari mappadendang, dibawa dengan sangat hati hati untuk dimasukkan di palungan. Cara membawanya pun unik, prosesi membawa harus kaki tidak terangkat dari tanah (melangkah), melainkan menempel ke tanah dari awal sampai akhir, dengan kata lain menggeser kaki dalam berjalan, persis posisi kaki pada jurus karate ketika melangkah. Mengapa demikian? Karena jika diangkat, itu akan menimbulkan amarah serta gemuruh makhluk lain. Kaki menempel diatas tanah, lalu diangkat membuat rerumputan terinjak secara kasar. Itulah alasan serangga terusik dan kembali membabi buta terhadap tanaman.
Secara original, tidak dikatakan sebagai tari mappadendang jika alat seni musik sekaligus alat menumbuk padi tidak ada dan lebih syahdu irama mappadendang jika malam hari bukan siang hari. Bunyi nada harus serasi, diikuti dengan gaya dan sikap pemainnya. Artinya ada makna pola laku manusia dengan irama tari mappadendang. Pemain musik menggunakan tongkat untuk menumbuk, dan hasil benturan tongkat dan palungan itulah yang menghasilkan nada harmoni. Pada mulanya pemain musik diambil dari perempuan berjumlah empat. Itu adalah sikarruangna empat sahabat nabi (Sayyidina Abu bakkar, Umar, Usman dan Ali). Tiga orang memegang tongkat silih berganti menumbuk, satu orang bermain calo bambu. Lalu dimana posisi empat sahabat dalam tari mappadendang ? akan dijelaskan pua asi pada tulisan berikutnya.
Wallahu a’lam....
Luyo, 15 Juli 2019
Comments
Post a Comment