LITERASI DIGITAL UNTUK DESA
Webinar LITERASI DIGITAL untuk masyarakat desa, Jum'at 25 Desember 2020 bersama tim juru bicara Presiden Kak Irendra Radjawali dan pemerintah kec. Luyo Bapak Muhammad Jumadil Tappawali. Diselenggarakan oleh Tomata Bassi Desa Puccadi bersama gabungan komunitas se-kec. Luyo. Sayang sekali jika moment ini tidak dituliskan pembahasannya.
Kak Irendra memulai dengan mendefinisikan Literasi dari kata Literatus artinya orang yang belajar. Maka kita harus mengosongkan kepala, membuka mata dan telinga, jangan langsung sok tahu tentang apa yang mau dipelajari. Literasi digital menurut Professor di University of North Carolina Amerika serikat mengatakan bahwa ada tiga komponen digital. Pertama, mencari dan mengkonsumsi isi digital. Kedua, Membuat dan mengisi konten digital. Ketiga, mengkomunikasikan konten digital ke masyarakat, khususnya masyarakat desa. Lalu, Kenapa literasi digital sangat penting untuk desa?
Era revolusi industry 4.0 dimulai dari 1.0 mesin uap, 2.0 listrik, 3.0 internet, 4.0 sebuah fenomena data menjadi penentu perkembangan social bahkan kemajuan suatu bangsa. Kita semua menyetor data masuk ke big data. Termasuk zoom yang sering kita pake untuk pertemuan. Data dipake untuk mengubah perilaku, karena itu terbaca dari aktivitas, setiap hari kita setor data. Kalau hanya online itu masih di 3.0. Ketika data sudah berseliweran, kita memasok data, itu sudah masuk 4.0. dan kecepatan data sangat cepat. Ada juga varietas data, dinamika data, data setiap detik berubah dan bertambah. Itu bisa digunakan untuk apapun, bahkan bisa menjajah, mengadu domba, juga bisa memprediksi yang baik dalam mengatasi masalah.
Efek negativenya, berkurang daya baca buku, suka main di dunia maya, melupakan dunia nyata Gara- gara internet. Hidupnya di internet bukan lagi di dunia nyata. Baca buku kita hanya satu halaman per 15 hari, kita cerewet di internet, baik itu facebook, twitter, Instagram, whats’app padahal isi kepala kita kosong. Kita mesti mengisi pengetahuan sebelum kita ngomel-ngomel di internet. Jika tidak demikian, maka kita potensi mengkomsumsi sampah, bukan pengetahuan, lebih banyak debat kusir ketimbang debat solutif.
Selain itu, tahun 2000 an manusia bisa konsentrasi penuh 13 detik, 2015 kita konsentrasi penuh hanya 8 detik, bahkan hari ini, kita hanya mampu konsentrasi penuh selama 3-5 detik Ketika berhadapan dengan internet. Itulah yang terjadi pada manusia, kalah dengan ikan mas. Tidak heran hoax betebaran dimana-mana. Kita tidak mampu lagi menganalisa informasi dengan baik, akhirnya terima-terima saja, share-share aja.
Tantangan lainnya adalah internet mencipta dis-informasi dan mis-informasi. Atau manipulasi informasi. Semua kita bingung mana yang benar mana yang salah. Akhirnya bisa saling tidak percaya antar kita, bahkan bisa menjadi polarisasi pendapat sesuai dengan kepentingan. Satu contoh Benua Australia gambarnya parah terbakar tershare kemana-mana, padahal kebarakannya tidak terlalu parah, tapi itulah yang tersebar. Celakanya yang nyebar adalah oleh artis terkenal Rihana.
Selain pandemic covid-19 yang menyebar, kita juga menghadapi infodemi, yaitu informasi tersebar sampai pelosok desa, bangun tidur kita langsung disuguhi informasi yang membludak. Penelitian mengatakan Di india, gambar yang tersebar 10% itu salah. Ada bahaya nya informasi terkoneksi. Kita mesti waras berdigital saring sebelum sharing. Beruntunglah teman teman yang punya ekosistem alam yang baik. Alam itu adalah sumber penegtahuan. Yang bertentangan dengan alam, pasti irrasional. Teman teman kota sudah kehilangan kondisi itu.
Penelitian mengatakan, Berita yang salah jauh lebih cepat 6 kali lipat bergerak ketimbang berita yang benar dan 10 sampai 20 banyaknya bisa mempengaruhi pikiran orang. Lebih susah bersihkan yg sudah kotor, makanya kita harus mencegah sebelum itu terjadi. Berita tidak benar ini bisa memecah belah kita. Seolah-olah kita benar sendiri. Tidak bisa hanya di pemerintah saja, mesti kita mulai dar desa Bersama-sama kita waras digital. Caranya, harus banyak diskusi dan menalar dengan baik. Lebih lengkapnya bisa baca buku propaganda internet. Kita bisa tahu banyak di internet, tapi kita kehilangan kebijaksnaan, tidak berhasil membangun pengetahuan.
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Jawaban untuk saya adalah Drone. Drone untuk pengambilan data, sebab jika memakai pesawat biayanya sampai 18 dollar setara denga Rp60 juta. Tidak mungkin dong, Membeli drone pertama yang bersayap aja mencapai harga 1 koma lebih miliar. Tidak bisa. Lalu saya belajar di universitas terbaik dan terlengkap youtube dan google. Akhirnya bisa buat drone. Hanya memakan biaya 20 an juta rupiah. Disini jugalah terbentuk Komunitas pertama akademi drone Desa dan sekolah IT Desa Bersama masyarakat Dayak.
Banyak perusahan nakal yang harus dilawan dengan drone, mengklaim kepemilikan tanah seenaknya. Kita mesti melawan dan mempertahankan tanah adat warisan leluhur kita. Drone juga Bisa digunakan untuk pertanian. Satu contoh, semua tanaman itu mengambil sinar matahari untuk berfotosintesis membuat makanan dan protein. Sinar matahari yang tidak dipake itu dipantulkan lagi keatas. Jika kita bisa menangkap sinar yang dikembalikan tanaman itu, maka kita bisa menilai mana tanaman yang sehat mana yang sakit, caranya drone diterbangkan diatas sawah memakai sinar inframerah. Pada akhirnya bisa mengambil data Kesehatan dari padi. Bisa juga diterapkan untuk kelapa, kakao, dll.
Sekolah IT desa dan akademi drone desa. Kita belajar membuat program, menggali data, mengakses market place, toko online, kita bisa menjual produk desa ke toko online. Intinya adalah mari rawat ekosistem kita, sebab disanalah pusat kehidupan. Pak Apay janggut seorang pimpinan Dayak Suai Itik Kalimantan Barat pernah berkata: “hutan itu seperti ibu kami yang memberikan kami makan dari udara untuk bernafas. Hutan menjadi bagian hidup kami yang akan selalu kami jaga”
Kota memang punya digital, namun desa punya hutan dan ekosistem, sementara hutan menjadi objek makna dan diigital mengambil data dari sana. Ayo… Pertahanakn budaya kita, mempertahankan budaya itu bergantung kepada lingkungan dan eksostem sekitar. Selain itu, sebelum melangkah ke digital, kita mesti memperkuat analog hubungan kemanusiaan, seperti gotong-royong saling membantu serta saling kasih mengasihi antar kita. Mengapa analog? Sebab dibalik digital ada sesuatu kenyataan. Ayo.. jangan hanya jadi penikmat, tapi jadilah pemanfaat.
Selain kita harus hati-hati pandemic covid-19, kita mesti hati-hati dengan infodemi. Kita dorong hati Nurani, digital tanpa itu akan mencipta kekerasan hati. Waras digital kita mulai dari diri, keluarga dan masyarakat kita. Memanfaatkanlah data sebaik-baiknya, harus dilakukan oleh anak muda dari kecamatan Luyo. Semua data harus di digitalkan, ditulis lalu kita analisis dengan baik. Data yang kita peroleh belum tentu menjadi informasi, belum tentu menjadi pengetahuan, pengetahuan belum tentu menjadi pemahaman, apalagi sampai tahap kebijaksanaan. Jangan berhenti di data saja.
Pemuda kecamatan Luyo harus menguasai data dan informasi yang baik, menjadi orang yang bijaksana, bukan hanya menjadi manusia data yang berpengetahuan . Kita Ada pengetahuan tapi apakah sudah dituliskan? Dan pada akhirnya Titik kecanggihan adalah kesederhanaan. Mari kita mulai dari bawah, kita belanja masalah dari kesederhanaan dengan cara sederhana.
yang membludak. Penelitian mengatakan Di india, gambar yang tersebar 10% itu salah. Ada bahaya nya informasi terkoneksi. Kita mesti waras berdigital saring sebelum sharing. Beruntunglah teman teman yang punya ekosistem alam yang baik. Alam itu adalah sumber penegtahuan. Yang bertentangan dengan alam, pasti irrasional. Teman teman kota sudah kehilangan kondisi itu.
Penelitian mengatakan, Berita yang salah jauh lebih cepat 6 kali lipat bergerak ketimbang berita yang benar dan 10 sampai 20 banyaknya bisa mempengaruhi pikiran orang. Lebih susah bersihkan yg sudah kotor, makanya kita harus mencegah sebelum itu terjadi. Berita tidak benar ini bisa memecah belah kita. Seolah-olah kita benar sendiri. Tidak bisa hanya di pemerintah saja, mesti kita mulai dar desa Bersama-sama kita waras digital. Caranya, harus banyak diskusi dan menalar dengan baik. Lebih lengkapnya bisa baca buku propaganda internet. Kita bisa tahu banyak di internet, tapi kita kehilangan kebijaksnaan, tidak berhasil membangun pengetahuan.
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Jawaban untuk saya adalah Drone. Drone untuk pengambilan data, sebab jika memakai pesawat biayanya sampai 18 dollar setara denga Rp60 juta. Tidak mungkin dong, Membeli drone pertama yang bersayap aja mencapai harga 1 koma lebih miliar. Tidak bisa. Lalu saya belajar di universitas terbaik dan terlengkap youtube dan google. Akhirnya bisa buat drone. Hanya memakan biaya 20 an juta rupiah. Disini jugalah terbentuk Komunitas pertama akademi drone Desa dan sekolah IT Desa Bersama masyarakat Dayak.
Banyak perusahan nakal yang harus dilawan dengan drone, mengklaim kepemilikan tanah seenaknya. Kita mesti melawan dan mempertahankan tanah adat warisan leluhur kita. Drone juga Bisa digunakan untuk pertanian. Satu contoh, semua tanaman itu mengambil sinar matahari untuk berfotosintesis membuat makanan dan protein. Sinar matahari yang tidak dipake itu dipantulkan lagi keatas. Jika kita bisa menangkap sinar yang dikembalikan tanaman itu, maka kita bisa menilai mana tanaman yang sehat mana yang sakit, caranya drone diterbangkan diatas sawah memakai sinar inframerah. Pada akhirnya bisa mengambil data Kesehatan dari padi. Bisa juga diterapkan untuk kelapa, kakao, dll.
Sekolah IT desa dan akademi drone desa. Kita belajar membuat program, menggali data, mengakses market place, toko online, kita bisa menjual produk desa ke toko online. Intinya adalah mari rawat ekosistem kita, sebab disanalah pusat kehidupan. Pak Apay janggut seorang pimpinan Dayak Suai Itik Kalimantan Barat pernah berkata: “hutan itu seperti ibu kami yang memberikan kami makan dari udara untuk bernafas. Hutan menjadi bagian hidup kami yang akan selalu kami jaga”
Kota memang punya digital, namun desa punya hutan dan ekosistem, sementara hutan menjadi objek makna dan diigital mengambil data dari sana. Ayo… Pertahankan budaya kita, mempertahankan budaya itu bergantung kepada lingkungan dan eksostem sekitar. Selain itu, sebelum melangkah ke digital, kita mesti memperkuat analog hubungan kemanusiaan, seperti gotong-royong saling membantu serta saling kasih mengasihi antar kita. Mengapa analog? Sebab dibalik digital ada sesuatu kenyataan. Ayo.. jangan hanya jadi penikmat, tapi jadilah pemanfaat.
Selain kita harus hati-hati pandemic covid-19, kita mesti hati-hati dengan infodemi. Kita dorong hati Nurani, digital tanpa itu akan mencipta kekerasan hati. Waras digital kita mulai dari diri, keluarga dan masyarakat kita. Memanfaatkanlah data sebaik-baiknya, harus dilakukan oleh anak muda dari kecamatan Luyo. Semua data harus di digitalkan, ditulis lalu kita analisis dengan baik. Data yang kita peroleh belum tentu menjadi informasi, belum tentu menjadi pengetahuan, pengetahuan belum tentu menjadi pemahaman, apalagi sampai tahap kebijaksanaan. Jangan berhenti di data saja.
Pemuda kecamatan Luyo harus menguasai data dan informasi yang baik, menjadi orang yang bijaksana, bukan hanya menjadi manusia data yang berpengetahuan . Kita Ada pengetahuan tapi apakah sudah dituliskan? Dan pada akhirnya Titik kecanggihan adalah kesederhanaan. Mari kita mulai dari bawah, kita belanja masalah dari kesederhanaan dengan cara sederhana.
Comments
Post a Comment