NASIONALISME RELIGIUS
NASIONALISME RELIGIUS
Oleh Farham Rahmat
Santri Millenial
Bangsa indonesia memainkan peran perebutan negri terjajah dari segala bentuk kolonialisme dan imprealisme. Semakin desakan membludak juga semangat mereka berapi api. Sungguhpun demikian perjuangan tiada henti berhasil memberi makna pada proklamasi 17 agustus itu. Setiap perlawanan dalam diri rakyat bangsa indonesia tumbuh menggila melawan penjajah. Namun dari manakah sumber awal perlawanan tersebut ? Inilah kekuatan membela bangsa dan menegakkan panji panji agama atau sering disebut sebagai Nasionalisme Religious. Dengan kesadaran beragama dan bernegara menumbuhkan sikap gagah berani, melawan penjajah sama saja berperan dengan orang kafir. Dorongan agama dan bangsa, berketuhanan namun mempunyai jiwa kemanusiaan yang kuat, berperikemanusiaan adalah berperikemahlukan namun juga mempererat persatuan demi terwujudnya keadilan yang merata.
Ada tiga point penting ingin saya sampaikan mengenai Nasionalisme Religious pada tulisan singkat ini. Pertama, saya akan memulainya dengan sebuah kisah untuk memberi gambaran makna Nasionalisme. Saat itu mulai dari sebuah negri dihuni oleh bangsa kambing yang sejahtera dan tentram. Lalu arus balik terjadi, pepohonan yang kian rimbun daun dan buah kini menjadi kering keronta seperti postur tubuh yang tak pernah makan dua bulan. Sungai mengalir dengan derasnya menghidupi tetumbuhan dan bangsa binatang kini menjadi lahan persengketaan tanah. Maklum saling memperebutkan air yang hanya tinggal beberapa tetes. Pasokan makanan makin hari makin menipis, sebagai akibatnya kelaparan melanda dan korupsi merajalela, pencurian dan perampokan sana sini setiap saat dapat mengancam.
Ditengah peristiwa yang kian memprihatinkan ini, tampil seekor kambing berjanggut putih, bertanduk kuat, tongkat menjadi alat bantu untuk berdiri (rupanya itu adalah sesepuh para masyarakat kambing) sambil berorasi: wahai para bangsa kambing yang terhormat, hari ini akan kita selesaikan masalah ini, bangsa kita akan sejahtera. Sorakan semangat mengiringi turunnya sesepuh mereka dari mimbar demokrasi. Sesaat Kemudian sesepuh kambing mengundang beberapa tokoh untuk mengadakan musyawarah darurat.
Singkat kisah, hasil musyawarah mereka adalah memilih pemimpin yang tepat. Namun anehnya bukan dari bangsa kambing itu sendiri. Ya… maklum musyawarah kambing tidak seperti congress PMII atau HmI . Musyawarah mereka berjalan sangat lancar karena tidak ada sanggahan dan pertanyaan bahkan kritikan. Penyakit musyawarah mereka adalah setuju…setuju… dan setuju…!
Sejumlah binatang melamar menjadi Raja. Singa datang melamar menjadi raja dan mendapat lontaran pertanyaan dari tetua adat “apa yang kau bisa andalkan untuk negri ini…?” Singa menjawab “saya punya taring untuk membasmi para koruptor”. Hehehe geliat legislative bangsa kambing dan berkata dengan arrogant “kami tidak butuh taring boss, maaf kamu ditolak…” sesaat kemudian tampil kerbau maju dengan percaya diri setinggi langit, namun lagi lagi juga diterpa pertanyaan sama, kali ini yudikatif kambing mencemooh bertanya, “Apa yang bisa kau perbuat ?” si kerbau menjawab “Saya Punya Tanduk” tetua adat bertanya lagi “untuk apa tanduk seperti itu ? untuk pamer saja, tidak, kami tidak butuh. Kamu ditolak.”
Konteks pemilihan pemimpin berlansung sangat lama memakan waktu berlarut, alasannya sederhana bangsa kambing terlalu selektif memilih pemimpin. Lalu giliran si kancil datang dan berkata “saya memang kecil tapi saya punya akal” mendengar itu bangsa kambing semuanya berteriak dengan geram “kami tidak butuh akal…! Akal itu hanya menimbulkan masalah besar. Perampokan besar dunia binatang, korupsi, perzinahan kelas kakap, pembodohan, pembunuhan massal semua itu dilakukan oleh orang-orang berakal. Tidak.. kami tidak butuh akal.”
Sepintas lalu hadirlah gajah dengan tubuh besar, belalai panjang, kaki yang tegap bergemuruh suara yang keras, seluruh istana bergetar dengan hentakan kaki gajah. Seketika bangsa kambing takjub dan sepakat berucap “Nahh…. inilah yang kita cari selama ini” tanpa basa basi sang gajah dilantik menjadi raja di negri kambing. Dia memulai memerintah dan mampu membalikkan kondisi menjadi baik, namun tahun demi tahun berlalu sang raja menjadi otoriter dan tak mendengar aspirasi bangsa kambing dan akhirnya penderitaan kembali melanda. Ternyata kesejahteraan yang diserukan oleh sang gajah adalah fatamorgana.
Kisah ini mengajarkan kita akan kesalahan kambing yang mereka tidak sadari. Mereka ingin sejahtera tetapi malah memilih pemimpin diluar dari bangsanya. Ketidakpercayaan sumber daya manusia yang kita miliki adalah nama lain dari Nasionalisme yang tidak kuat. Nasionalisme menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah Hubbul Watthon Min Al-Iman. Mencintai negri sendiri adalah mencintai sumber daya manusianya juga. Percaya bahwa jiwa yang lahir dari bumi pertiwi merupakan sosok yang mampu bersaing dan mampu membawa Indonesia ke-arah yang lebih baik.
Mereka yang berjiwa nasionalisme bukan hanya mengandalkan taring keberanian seperti singa, bukan hanya mengandalkan kebesaran wibawa seperti gajah, bukan hanya mengandalkan kecerdasan akal seperti kancil, namun yang sangat penting adalah dia yang mempunyai naluri ketuhanan dan kemanusiaan sejati. Soekarno pernah bergumam saat pidato di PBB mengutip Mahatma Gandhi “My Nationalism Is Humanity” Nasionalisme adalah Kemanusiaan, konsep islam menyebutnya sebagai Nasionalisme Religius. Tapi kami PMII lebih senang menyebutnya Pembela Negara dan Penegak Agama.
Jika nasinoalisme sudah tumbuh maka Negara adalah objek utama untuk dibela, lalu dalam Negara itu ada beberapa agama, jika Negara dirampas maka agama tidak mempunyai pijakan untuk tetap eksis sebagai ajaran suci. Sebab dimana agama bisa beraktualisasi kalau tidak mempunyai wilayah yang namanya Negara ?. Rasulullah memperjuangkan agama islam diatas tanah kelahiran beliau (Negri semenanjung arab). Itulah mengapa Allah bersumpah atas nama negri “La Uksimu Bi Hadza Al-Balad” saya bersumpah atas negri ini (Mekkah).
Coba kita perhatikan Surah Ibrahim ayat 35. Ayat ini mendahulukan keamanan Negara sebelum membahas tentang pribadatan agama.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
Nabi Ibrahim berdo’a “Rabbi Ijal Hadza Al-Balad Aminan” jadikanlah negri ini aman, sebuah ungkapan keresahan hati bahwa nabi Ibrahim sangat memahami bahwa jika Negara tidak aman maka aktivitas apapun yang kita lakukan tidak akan pernah terwujud termasuk beribadah. Umat islam ingin sholat di masjid, umat Kristen di gereja, hindu di kuil, budha di vihara, mustahil ibadah agama tenang jika kondisi Negara tidak aman. Seperti saudara kita yang ada di gaza palestina, semua lini kehidupan disana terhambat akibat Negara mereka tidak aman. Sehingga setelah Nabi Ibrahim berdo’a untuk keamanan negara, barulah beliau berdo’a tentang peribadatan yang mengatakan “Wa Ijnubni A Baniyyan An Na’buda Al-Ashnam” jauhkanlah aku dan anak cucuku untuk menyembah berhala. Mendahulukan Konsep pembela Negara setelah menegakkan agama adalah sesuatu yang logis secara akal dan Al-qur’an.
Kedua, sekarang kita lihat pada saat melawan penjajah, tangan memukul dan menikam lawan, asumsinya badan yang menggerakkan, lantas kita lihat badan yang bergerak asumsinya jiwalah yang menggerakkan, namun untuk apa jiwa menggerakkan untuk melawan ? apakah hanya sekedar harga diri yang terinjak ? atau kekayaan yang dirampas ? pertanyaan ini bukan hanya berkisar pada perlawanan saja atau melihat kezholiman merajalela, namun secara tinjauan fitrawi ada dorongan kuat tidak disadari dalam jiwa untuk mempertahankan wilayah kita. Fitrah bereaksi untuk membela Negara ini, cinta terhadap bangsa, sebab cinta adalah sesuatu yang sangat tinggi, bahkan harga diri dan nyawa pun akan dikorbankan untuk Cinta.
Sepintas terdengar bahwa itulah ego kebangsaan bangkit dan menggerakkan. Tapi saya lebih tertarik menyebutnya sebagai nasionalisme. Paham ini mulai digaungkan oleh soekarno saat ingin menggabungkan ideologi marxis dan agamis. Marxis kemudian diterjemahkan oleh tan malaka sebagai MADILOG (materialisme dialektika dan logika) diwujudkan dalam bentuk partai komunis Indonesia dipimpin oleh DN. Aidit. Saat itu juga ada kaum agamis yang telah lama menjadi pewaris pribumi diwakili oleh Sarekat Islam dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto.
Sehingga Soekarno menggabung dua kekuatan ideologi tersebut menjadi NASAKOM (Nasionalisme Agama dan Komunis). Lantas dari mana muncul paham Nasionalisme ?. Soekarno sadar betul bahwa paham nasionalisme semua eksis dalam diri putra putri bangsa Indonesia apapun pahamnya. Islam dan komunisme sama sama ingin mempertahankan Negara Indonesia, dan melawan para tiran imprelaisme. Sehingga dapat kita katakana bahwa paham nasionalisme bukan ideology seperti agama, liberalism, kapitalisme dan komunisme, melainkan sebuah fitrah keberagamaan, kemanusiaan dan keindonesiaan.
Ideologi lahir dari world view, tata cara memandang Alam, Manusia dan Tuhan. Penjelasan satu per satu tentang ideologi tidak akan selesai dilembaran kecil ini, namun saya hanya mengisyaratkan bahwa ideologi setelah menjadi kerangkan berfikir yang terbangun selanjutnya menjadi word view dan mencipta sebuah sistem nilai. Sistem nilai inilah yang akan mempengaruhi seluruh gerak gerik kita dalam berhidup. Sehingga akan tercipta peradaban sesuai dengan cara fikir dan tindakan menurut kita.
Nasionalisme religious lahir bukan dari pemikiran yang terstruktur serta world view yang canggih. Nasionalisme lahir dalam lubuk hati nurani rakyat indonesia. Bahwa saat kita dilahirkan bukanlah keinginan kita untuk lahir di negri tertentu, semuanya terlepas dari kehendak manusia dan dibawah pengaruh takwini Tuhan secara mutlak. Dimanapun kita dilahirkan maka kecintaan itu pun juga akan tumbuh di tempat tersebut. Mencintai negri adalah takdir konsekwensi takwini yang sampai hari ini kita tidak mengetahui sebabnya apa. So nasionalisme adalah fitrah kebangsaan bukan ideologi.
Saya akan mengajak anda untuk menyelami tafsir kebangsaan terdapat pada Q.S. Surah Al-Hujurat:13 “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Pada mulanya Allah menciptakan manusia hanya ada dua jenis yaitu laki laki dan perempuan, itu saja. Dalam tafsir Al-Kabir karya Imam Fakhruddin Ar-Razi disebutkan bahwa ayat tersebut bercerita tentang awal penciptaan adam (laki laki) dan hawa (perempuan). Pemilihan jenis kelamin sudah menjadi hak prerogative (Takwini) Allah, tidak satu pun manusia yang bisa berdiskusi dengan Allah untuk minta pesanan kelamin yang diinginkan sebelum dilahirkan. Begitupun setelah lahir, tidak bisa merubah kelamin meskipun dengan cara operasi, tetap saja tabiat kelamin mendominasi. Itulah mengapa Allah menggunkan kata kerja lampau (Fi’il Madhi) padahal proses kelahiran masih terjadi sekarang dan selalu terjadi di masa depan. Itu artinya penenkanan bahwa penciptaan manusia itu pasti dan itu urusan Allah semata.
Setelah menciptakan manusia dua jenis kelamin, lalu manusia berkembang biak dan menempati setiap wilayah di penjuru bumi. Dari sinilah lahir suku dan bangsa, beragama sesuai dengan pengaruh sosiokultural dan kehidupan masing masing tempat. Manusia secara tabiat berasal dan lahir dari suku dan bangsa masing-masing, sehingga tidak dapat kita pisahkan dalam identitas diri sebagai manusia. Kepribadian dan identitas suatu bangsa, alam membentuk manusia, sejarah membentuk budaya manusia dan peradaban melahirkan sejarah. Sejatinya budaya memiliki karakteristik dan inilah yang membentuk kepribadian. Anda tidak bisa memungkiri keberadaan suku dimana anda dilahirkan. Pertanyaan tentang apakah anda sunda atau bugis atau islam ? jawabannya saya adalah islam tapi saya bugis atau sunda. Suku yang melekat mustahil dapat kita lepaskan dari diri kita.
Anda tidak bisa mengingkari keberadaan suku, bangsa dan berpindah ke suku, bangsa lain itu pilihan Allah untuk kita.contoh anda ingin menjadi suku jawa, sementara anda lahir dari suku bugis, atau ingin menjadi bangsa eropa yang putih dan macung hidung sementara anda lahir di Indonesia yang berkulit sawo matang dan hidung pesek. Sementara agama adalah pilihan manusia, sesuai dengan hasil ijtihad pengetahuan masing masing dimana dan metode apa yang bisa mengantarkannya kepada Tuhan. Sehingga jangan heran jika terdapat perpindahan agama, bukan perpindahan suku, bangsa melainkan hanya berpindah tempat wilayah saja.
Keberadaan suku adalah kepribadian, dan kepribadian adalah identitas individu. Inilah yang menjadi differentia fashl dari yang lainnya. Artinya mencampakkan identitas berarti mencampakkan dirinya sendiri, dan lebih parah lagi jika mengambil identitas orang lain. Berarti saat itu bukan dirinya lagi namun diri orang lain yang nampak. Maka ketika seseorang lahir dari budaya meniscayakan terbentuknya identitas dalam dirinya. Setiap bangsa memiliki cita rasa dan ideology tersendiri seperti sastra, ilmu pengetahuan, agama, etika, local wisdom, dan sebagainya. Ciri khas ini yang akan membentuk kepribadian manusianya secara kolektif kemudian melahirkan suatu jiwa semangat yang mengikat juga sebagai pemersatu.
Agama adalah ideology keimanan sedangkan nasionality adalah identitas kepribadian dari segi jiwa yang sama dari individu yang bernasib sama. Jadi hubungan antara nasionalitas dan agama seperti hubungan antara kepribadian dan iman. Artinya agama ketika menentang rasisme atau hegemoni nasional bukan berarti agama menentang keragaman nasionalitas dalam masyarakat. Prinsip persamaan hak dalam islam tidak menentang prinsip nasionalitas, justru islam mengakui keberadaan nasionality ini sebagai fakta real tidak terbantahkan lagi secara badihi bahwa ini merupakan bentukan fenomena alam.
Sebagaimana ayat mengatakan “Wakhalaknakun Min Dzakari Wa Untsa”. Ayat ini menjelaskan fenomena alam secara takwini yang tak seorangpun mampu mengubahnya bahkan Nabi pun tidak mampu mengubah ketentuan takwini Allah. Memang kita sebagai manusia hanya berkisar antara laki-laki dan perempuan tidak ada makhluk selain dari keduanya. Dari dua jenis makhluk tersebut Allah melanjutkan firman-Nya “Waja’alnakum syu’uban” lalu menjadikannya bersuku dan berbangsa. Ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa kesukuan dan budaya tidak akan terpisah dengan manusianya, sebab secara dzati hal tersebut telah ditentukan oleh Allah dalam penciptaan manusia.
Ada lima hal yang harus kita perhatikan untuk mencermati ayat ini.
1. Ayat ini menyebutkan jenis kelamin. Dan ini bersifat alamiah. Kemudian kesukuan dan kebangsaan. Juga ini kehendak takwini Allah. Laki-laki dan perempuan membentuk bangsa dan kesukuan yang merupakan bagian dari system alam semesta. Dan kata Lita’arafu adalah alasan pilosofis mengapa kita dicipta bersuku dan berbangsa. Sebab jika kesukuan dan bangsa adalah identitas maka secara pasti akan bisa dikenali, namun jika tidak ada identitas maka mustahil akan dikenali. Suku adalah identitas kita dalam berislam.
2. Agama adalah iman sedangkan nasionality adalah identitas pribadi. Islam datang untuk mempertegas dan mengakui keberadaan nasionality kecuali dalam budaya ada tradisi yang bertentangan dengan ajaran islam seperti jaran dualitas dan pengudusan api merupakan penyimpangan orang iran, meskipun diakui sebagai produk sejarah iran. Begitu juga dengan ajaran monoteisme, penolakan menyembah selain Allah bukan dari ajaran iran dan bukan produk ajaran bangsa iran.
3. Ayat Al-hujurat mengandung makna bahwa semua manusia berasal dari bapak dan ibu yang satu, dalam hal ini tidak perbedaan.
4. Frase kalimat Agar kamu saling mengenal, artinya personalitas bangsa harus independen sehingga antar bangsa yang satu dengan yang lainnya bisa dibedakan, maka dari perbedaan inilah kita akan saling mengenal.
5. Terakhir manusia hakikatnya menuju kesempurnaan melalui proses bermasyarakat secara alamiah dan bentuk peradaban yang dimulai dari kebudayaan.
Yang ketiga adalah pancasila adalah cerminan Pembela bangsa dan penegak agama Dialektika ideologi dunia kini mulai mengeras dan nampak teramat ganas. Mengapa tidak pertarungan pemikiran dalam frame ideologi melahirkan konsekwensi logis akan tata pola pikir dan cara bertindak seseorang. Pancasila lahir sebagai the alternative of ideologi dari kekacauan umat manusia. Sehingga bung karnoe sebagai pencetus pancasila mengangkat ideologi lima sila ini ke permukaan dunia sebagai solusi cinta dan perdamaian.
Pancasila selain posisinya the Filosofi Grondslag juga berkedudukan sebagai weltanschaung. Dalam hal ini perlu difahami bahwa Welatanschaung belum tentu menjelma menjadi Filosofi Grondslag, sebab Weltanschaung masyarakat telah membentuk karakter dan adat kebiasaan manusia dengan local wisdom masing masing daerah. Seperti adat tentang penegakkan hukum dan etika sosial yang berlaku, namun saat kita bertanya apakah sistem ini bisa diargumentasikan secara filosofis? jawabannya tentu tidak, sebab mereka tidak mengenal kaidah berfikir rasional dan mendalam seperti filsafat.
Local wisdom masyarakat adalah sebuah sistem yang telah membentuk manusia, dan itu adalah Weltanschaung dalam kehidupan mereka. Namun tidak menjadi sebuah Filosofi Grondslag. Katakanlah misalnya suku dayak dalam melakukan reboisasi mereka mempunyai adat setelah menebang pohon mereka membayar kekayaan alam dengan uang logam ditanam kedalam bumi. Terakhir, peneilitian mangatakan bahwa logam mempunyai zat tersendiri yang mampu menyuburkan tanah. Namun mereka tidak tahu menjelaskan secara rasio ideologis tentang adat istiadat mereka itu, sehingga itu bukan sebagai Filosofi Grondslag.
Begitupun sebaliknya Filosofi Grondslag belum tentu menjadi Weltanschaung. Maka kita mengenal pemikiran ideologi dunia hanya sebatas kekayaan intelektual belaka. Bahwa memang pemikiran seperti itu sesuatu yang sangat penting sebagai bahan analisis perbandingan pemikiran. Pemikiran beragam yang kita konsumsi tidak serta merta akan menjadi Weltanschaung (pandangan hidup) kita dalam beraktualisasi.
Membaca pemikiran Karl Marxs tentang paham pertentangan kelas proletariat dan borjuis yang dilatarbelakangi oleh kontadiksi internal (Ta’arudh Dakhiliyyah), membaca pemikiran Jalaluddin Rumi tentang konsep Cinta, atau Al-Hallaj tentang Al-Ittihadiyah-nya, atau Rene Descartes dengan pemikiran Rasionalisme-nya, atau bahkan Adam Smith tentang konsep Kapitalisme-nya dan beberapa pemikiran barat dan islam lainnya. Semua ini belum tentu menjadi pandangan hidup masyarakat kita. Pemikiran itu hanya akan bergelut dalam pikiran (Dzihni) saja tidak lebih, adapun tindakan itu sudah menjadi ranah praktis dibentuk Weltanschaung yang bisa dilatarbelakangi beberapa factor budaya, adat istiadat dan kepercayaan masyarakat.
Pancasila selain menjadi Filososi Grondslag yang begitu mendalam dari pendiri bangsa juga menjadi Weltanschaung sebagai bangsa indonesia. Jiwa bangsa ini digali dari filsafat pancasila dan menjadi nilai dasar dalam realisasi sikap tindakan rakyat indonesia. Pancasila adalah satu kesatuan ideologi dan pandangan hidup, sehingga akar nilai filosofis bangsa akan tetap mengakar kuat dalam bingkai keindonesian dan keislaman. Manifestasi ketuhanan yang kokoh dan kemanusiaan serta cinta tanah air terangkum dalam bait bait pancasila itu.
Ketiga point ini menuntut kita untuk memahami bahwa putra putri bangsa yang membela bangsanya sendiri artinya sudah menegakkan agamanya. Nasionalisme dan agama adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan adanya. Bukti real dan rasionalitas dari proposisi tersebut bisa melalui pendekatan kajian kebudayaan islam dan resolusi jihad kaum agamis. Islam dan kebangsaan meliputi syariat budaya dan local wisdom yang hidup saling memberi keharmonisan. Dalam istilah KH. Abdurrahman wahid disebut pribumisasi islam. Islam memasuki Indonesia tidak berubah makna dan nilainya. Melainkan mendapat bentuk baru. Jika sungai pada awalnya bersih, namun tengah perjalan perlahan mulai tercemar, itu bukan berarti sungainya berbeda. Tetap saja sungai sama namun perjalanan sejarah yang semakin menjauhkan kita dari Nabi membuat agama ini beragam dalam suku dan kebudayaan.
Wallahu a’lam bisshawab…..
Oleh Farham Rahmat
Santri Millenial
Bangsa indonesia memainkan peran perebutan negri terjajah dari segala bentuk kolonialisme dan imprealisme. Semakin desakan membludak juga semangat mereka berapi api. Sungguhpun demikian perjuangan tiada henti berhasil memberi makna pada proklamasi 17 agustus itu. Setiap perlawanan dalam diri rakyat bangsa indonesia tumbuh menggila melawan penjajah. Namun dari manakah sumber awal perlawanan tersebut ? Inilah kekuatan membela bangsa dan menegakkan panji panji agama atau sering disebut sebagai Nasionalisme Religious. Dengan kesadaran beragama dan bernegara menumbuhkan sikap gagah berani, melawan penjajah sama saja berperan dengan orang kafir. Dorongan agama dan bangsa, berketuhanan namun mempunyai jiwa kemanusiaan yang kuat, berperikemanusiaan adalah berperikemahlukan namun juga mempererat persatuan demi terwujudnya keadilan yang merata.
Ada tiga point penting ingin saya sampaikan mengenai Nasionalisme Religious pada tulisan singkat ini. Pertama, saya akan memulainya dengan sebuah kisah untuk memberi gambaran makna Nasionalisme. Saat itu mulai dari sebuah negri dihuni oleh bangsa kambing yang sejahtera dan tentram. Lalu arus balik terjadi, pepohonan yang kian rimbun daun dan buah kini menjadi kering keronta seperti postur tubuh yang tak pernah makan dua bulan. Sungai mengalir dengan derasnya menghidupi tetumbuhan dan bangsa binatang kini menjadi lahan persengketaan tanah. Maklum saling memperebutkan air yang hanya tinggal beberapa tetes. Pasokan makanan makin hari makin menipis, sebagai akibatnya kelaparan melanda dan korupsi merajalela, pencurian dan perampokan sana sini setiap saat dapat mengancam.
Ditengah peristiwa yang kian memprihatinkan ini, tampil seekor kambing berjanggut putih, bertanduk kuat, tongkat menjadi alat bantu untuk berdiri (rupanya itu adalah sesepuh para masyarakat kambing) sambil berorasi: wahai para bangsa kambing yang terhormat, hari ini akan kita selesaikan masalah ini, bangsa kita akan sejahtera. Sorakan semangat mengiringi turunnya sesepuh mereka dari mimbar demokrasi. Sesaat Kemudian sesepuh kambing mengundang beberapa tokoh untuk mengadakan musyawarah darurat.
Singkat kisah, hasil musyawarah mereka adalah memilih pemimpin yang tepat. Namun anehnya bukan dari bangsa kambing itu sendiri. Ya… maklum musyawarah kambing tidak seperti congress PMII atau HmI . Musyawarah mereka berjalan sangat lancar karena tidak ada sanggahan dan pertanyaan bahkan kritikan. Penyakit musyawarah mereka adalah setuju…setuju… dan setuju…!
Sejumlah binatang melamar menjadi Raja. Singa datang melamar menjadi raja dan mendapat lontaran pertanyaan dari tetua adat “apa yang kau bisa andalkan untuk negri ini…?” Singa menjawab “saya punya taring untuk membasmi para koruptor”. Hehehe geliat legislative bangsa kambing dan berkata dengan arrogant “kami tidak butuh taring boss, maaf kamu ditolak…” sesaat kemudian tampil kerbau maju dengan percaya diri setinggi langit, namun lagi lagi juga diterpa pertanyaan sama, kali ini yudikatif kambing mencemooh bertanya, “Apa yang bisa kau perbuat ?” si kerbau menjawab “Saya Punya Tanduk” tetua adat bertanya lagi “untuk apa tanduk seperti itu ? untuk pamer saja, tidak, kami tidak butuh. Kamu ditolak.”
Konteks pemilihan pemimpin berlansung sangat lama memakan waktu berlarut, alasannya sederhana bangsa kambing terlalu selektif memilih pemimpin. Lalu giliran si kancil datang dan berkata “saya memang kecil tapi saya punya akal” mendengar itu bangsa kambing semuanya berteriak dengan geram “kami tidak butuh akal…! Akal itu hanya menimbulkan masalah besar. Perampokan besar dunia binatang, korupsi, perzinahan kelas kakap, pembodohan, pembunuhan massal semua itu dilakukan oleh orang-orang berakal. Tidak.. kami tidak butuh akal.”
Sepintas lalu hadirlah gajah dengan tubuh besar, belalai panjang, kaki yang tegap bergemuruh suara yang keras, seluruh istana bergetar dengan hentakan kaki gajah. Seketika bangsa kambing takjub dan sepakat berucap “Nahh…. inilah yang kita cari selama ini” tanpa basa basi sang gajah dilantik menjadi raja di negri kambing. Dia memulai memerintah dan mampu membalikkan kondisi menjadi baik, namun tahun demi tahun berlalu sang raja menjadi otoriter dan tak mendengar aspirasi bangsa kambing dan akhirnya penderitaan kembali melanda. Ternyata kesejahteraan yang diserukan oleh sang gajah adalah fatamorgana.
Kisah ini mengajarkan kita akan kesalahan kambing yang mereka tidak sadari. Mereka ingin sejahtera tetapi malah memilih pemimpin diluar dari bangsanya. Ketidakpercayaan sumber daya manusia yang kita miliki adalah nama lain dari Nasionalisme yang tidak kuat. Nasionalisme menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah Hubbul Watthon Min Al-Iman. Mencintai negri sendiri adalah mencintai sumber daya manusianya juga. Percaya bahwa jiwa yang lahir dari bumi pertiwi merupakan sosok yang mampu bersaing dan mampu membawa Indonesia ke-arah yang lebih baik.
Mereka yang berjiwa nasionalisme bukan hanya mengandalkan taring keberanian seperti singa, bukan hanya mengandalkan kebesaran wibawa seperti gajah, bukan hanya mengandalkan kecerdasan akal seperti kancil, namun yang sangat penting adalah dia yang mempunyai naluri ketuhanan dan kemanusiaan sejati. Soekarno pernah bergumam saat pidato di PBB mengutip Mahatma Gandhi “My Nationalism Is Humanity” Nasionalisme adalah Kemanusiaan, konsep islam menyebutnya sebagai Nasionalisme Religius. Tapi kami PMII lebih senang menyebutnya Pembela Negara dan Penegak Agama.
Jika nasinoalisme sudah tumbuh maka Negara adalah objek utama untuk dibela, lalu dalam Negara itu ada beberapa agama, jika Negara dirampas maka agama tidak mempunyai pijakan untuk tetap eksis sebagai ajaran suci. Sebab dimana agama bisa beraktualisasi kalau tidak mempunyai wilayah yang namanya Negara ?. Rasulullah memperjuangkan agama islam diatas tanah kelahiran beliau (Negri semenanjung arab). Itulah mengapa Allah bersumpah atas nama negri “La Uksimu Bi Hadza Al-Balad” saya bersumpah atas negri ini (Mekkah).
Coba kita perhatikan Surah Ibrahim ayat 35. Ayat ini mendahulukan keamanan Negara sebelum membahas tentang pribadatan agama.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
Nabi Ibrahim berdo’a “Rabbi Ijal Hadza Al-Balad Aminan” jadikanlah negri ini aman, sebuah ungkapan keresahan hati bahwa nabi Ibrahim sangat memahami bahwa jika Negara tidak aman maka aktivitas apapun yang kita lakukan tidak akan pernah terwujud termasuk beribadah. Umat islam ingin sholat di masjid, umat Kristen di gereja, hindu di kuil, budha di vihara, mustahil ibadah agama tenang jika kondisi Negara tidak aman. Seperti saudara kita yang ada di gaza palestina, semua lini kehidupan disana terhambat akibat Negara mereka tidak aman. Sehingga setelah Nabi Ibrahim berdo’a untuk keamanan negara, barulah beliau berdo’a tentang peribadatan yang mengatakan “Wa Ijnubni A Baniyyan An Na’buda Al-Ashnam” jauhkanlah aku dan anak cucuku untuk menyembah berhala. Mendahulukan Konsep pembela Negara setelah menegakkan agama adalah sesuatu yang logis secara akal dan Al-qur’an.
Kedua, sekarang kita lihat pada saat melawan penjajah, tangan memukul dan menikam lawan, asumsinya badan yang menggerakkan, lantas kita lihat badan yang bergerak asumsinya jiwalah yang menggerakkan, namun untuk apa jiwa menggerakkan untuk melawan ? apakah hanya sekedar harga diri yang terinjak ? atau kekayaan yang dirampas ? pertanyaan ini bukan hanya berkisar pada perlawanan saja atau melihat kezholiman merajalela, namun secara tinjauan fitrawi ada dorongan kuat tidak disadari dalam jiwa untuk mempertahankan wilayah kita. Fitrah bereaksi untuk membela Negara ini, cinta terhadap bangsa, sebab cinta adalah sesuatu yang sangat tinggi, bahkan harga diri dan nyawa pun akan dikorbankan untuk Cinta.
Sepintas terdengar bahwa itulah ego kebangsaan bangkit dan menggerakkan. Tapi saya lebih tertarik menyebutnya sebagai nasionalisme. Paham ini mulai digaungkan oleh soekarno saat ingin menggabungkan ideologi marxis dan agamis. Marxis kemudian diterjemahkan oleh tan malaka sebagai MADILOG (materialisme dialektika dan logika) diwujudkan dalam bentuk partai komunis Indonesia dipimpin oleh DN. Aidit. Saat itu juga ada kaum agamis yang telah lama menjadi pewaris pribumi diwakili oleh Sarekat Islam dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto.
Sehingga Soekarno menggabung dua kekuatan ideologi tersebut menjadi NASAKOM (Nasionalisme Agama dan Komunis). Lantas dari mana muncul paham Nasionalisme ?. Soekarno sadar betul bahwa paham nasionalisme semua eksis dalam diri putra putri bangsa Indonesia apapun pahamnya. Islam dan komunisme sama sama ingin mempertahankan Negara Indonesia, dan melawan para tiran imprelaisme. Sehingga dapat kita katakana bahwa paham nasionalisme bukan ideology seperti agama, liberalism, kapitalisme dan komunisme, melainkan sebuah fitrah keberagamaan, kemanusiaan dan keindonesiaan.
Ideologi lahir dari world view, tata cara memandang Alam, Manusia dan Tuhan. Penjelasan satu per satu tentang ideologi tidak akan selesai dilembaran kecil ini, namun saya hanya mengisyaratkan bahwa ideologi setelah menjadi kerangkan berfikir yang terbangun selanjutnya menjadi word view dan mencipta sebuah sistem nilai. Sistem nilai inilah yang akan mempengaruhi seluruh gerak gerik kita dalam berhidup. Sehingga akan tercipta peradaban sesuai dengan cara fikir dan tindakan menurut kita.
Nasionalisme religious lahir bukan dari pemikiran yang terstruktur serta world view yang canggih. Nasionalisme lahir dalam lubuk hati nurani rakyat indonesia. Bahwa saat kita dilahirkan bukanlah keinginan kita untuk lahir di negri tertentu, semuanya terlepas dari kehendak manusia dan dibawah pengaruh takwini Tuhan secara mutlak. Dimanapun kita dilahirkan maka kecintaan itu pun juga akan tumbuh di tempat tersebut. Mencintai negri adalah takdir konsekwensi takwini yang sampai hari ini kita tidak mengetahui sebabnya apa. So nasionalisme adalah fitrah kebangsaan bukan ideologi.
Saya akan mengajak anda untuk menyelami tafsir kebangsaan terdapat pada Q.S. Surah Al-Hujurat:13 “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Pada mulanya Allah menciptakan manusia hanya ada dua jenis yaitu laki laki dan perempuan, itu saja. Dalam tafsir Al-Kabir karya Imam Fakhruddin Ar-Razi disebutkan bahwa ayat tersebut bercerita tentang awal penciptaan adam (laki laki) dan hawa (perempuan). Pemilihan jenis kelamin sudah menjadi hak prerogative (Takwini) Allah, tidak satu pun manusia yang bisa berdiskusi dengan Allah untuk minta pesanan kelamin yang diinginkan sebelum dilahirkan. Begitupun setelah lahir, tidak bisa merubah kelamin meskipun dengan cara operasi, tetap saja tabiat kelamin mendominasi. Itulah mengapa Allah menggunkan kata kerja lampau (Fi’il Madhi) padahal proses kelahiran masih terjadi sekarang dan selalu terjadi di masa depan. Itu artinya penenkanan bahwa penciptaan manusia itu pasti dan itu urusan Allah semata.
Setelah menciptakan manusia dua jenis kelamin, lalu manusia berkembang biak dan menempati setiap wilayah di penjuru bumi. Dari sinilah lahir suku dan bangsa, beragama sesuai dengan pengaruh sosiokultural dan kehidupan masing masing tempat. Manusia secara tabiat berasal dan lahir dari suku dan bangsa masing-masing, sehingga tidak dapat kita pisahkan dalam identitas diri sebagai manusia. Kepribadian dan identitas suatu bangsa, alam membentuk manusia, sejarah membentuk budaya manusia dan peradaban melahirkan sejarah. Sejatinya budaya memiliki karakteristik dan inilah yang membentuk kepribadian. Anda tidak bisa memungkiri keberadaan suku dimana anda dilahirkan. Pertanyaan tentang apakah anda sunda atau bugis atau islam ? jawabannya saya adalah islam tapi saya bugis atau sunda. Suku yang melekat mustahil dapat kita lepaskan dari diri kita.
Anda tidak bisa mengingkari keberadaan suku, bangsa dan berpindah ke suku, bangsa lain itu pilihan Allah untuk kita.contoh anda ingin menjadi suku jawa, sementara anda lahir dari suku bugis, atau ingin menjadi bangsa eropa yang putih dan macung hidung sementara anda lahir di Indonesia yang berkulit sawo matang dan hidung pesek. Sementara agama adalah pilihan manusia, sesuai dengan hasil ijtihad pengetahuan masing masing dimana dan metode apa yang bisa mengantarkannya kepada Tuhan. Sehingga jangan heran jika terdapat perpindahan agama, bukan perpindahan suku, bangsa melainkan hanya berpindah tempat wilayah saja.
Keberadaan suku adalah kepribadian, dan kepribadian adalah identitas individu. Inilah yang menjadi differentia fashl dari yang lainnya. Artinya mencampakkan identitas berarti mencampakkan dirinya sendiri, dan lebih parah lagi jika mengambil identitas orang lain. Berarti saat itu bukan dirinya lagi namun diri orang lain yang nampak. Maka ketika seseorang lahir dari budaya meniscayakan terbentuknya identitas dalam dirinya. Setiap bangsa memiliki cita rasa dan ideology tersendiri seperti sastra, ilmu pengetahuan, agama, etika, local wisdom, dan sebagainya. Ciri khas ini yang akan membentuk kepribadian manusianya secara kolektif kemudian melahirkan suatu jiwa semangat yang mengikat juga sebagai pemersatu.
Agama adalah ideology keimanan sedangkan nasionality adalah identitas kepribadian dari segi jiwa yang sama dari individu yang bernasib sama. Jadi hubungan antara nasionalitas dan agama seperti hubungan antara kepribadian dan iman. Artinya agama ketika menentang rasisme atau hegemoni nasional bukan berarti agama menentang keragaman nasionalitas dalam masyarakat. Prinsip persamaan hak dalam islam tidak menentang prinsip nasionalitas, justru islam mengakui keberadaan nasionality ini sebagai fakta real tidak terbantahkan lagi secara badihi bahwa ini merupakan bentukan fenomena alam.
Sebagaimana ayat mengatakan “Wakhalaknakun Min Dzakari Wa Untsa”. Ayat ini menjelaskan fenomena alam secara takwini yang tak seorangpun mampu mengubahnya bahkan Nabi pun tidak mampu mengubah ketentuan takwini Allah. Memang kita sebagai manusia hanya berkisar antara laki-laki dan perempuan tidak ada makhluk selain dari keduanya. Dari dua jenis makhluk tersebut Allah melanjutkan firman-Nya “Waja’alnakum syu’uban” lalu menjadikannya bersuku dan berbangsa. Ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa kesukuan dan budaya tidak akan terpisah dengan manusianya, sebab secara dzati hal tersebut telah ditentukan oleh Allah dalam penciptaan manusia.
Ada lima hal yang harus kita perhatikan untuk mencermati ayat ini.
1. Ayat ini menyebutkan jenis kelamin. Dan ini bersifat alamiah. Kemudian kesukuan dan kebangsaan. Juga ini kehendak takwini Allah. Laki-laki dan perempuan membentuk bangsa dan kesukuan yang merupakan bagian dari system alam semesta. Dan kata Lita’arafu adalah alasan pilosofis mengapa kita dicipta bersuku dan berbangsa. Sebab jika kesukuan dan bangsa adalah identitas maka secara pasti akan bisa dikenali, namun jika tidak ada identitas maka mustahil akan dikenali. Suku adalah identitas kita dalam berislam.
2. Agama adalah iman sedangkan nasionality adalah identitas pribadi. Islam datang untuk mempertegas dan mengakui keberadaan nasionality kecuali dalam budaya ada tradisi yang bertentangan dengan ajaran islam seperti jaran dualitas dan pengudusan api merupakan penyimpangan orang iran, meskipun diakui sebagai produk sejarah iran. Begitu juga dengan ajaran monoteisme, penolakan menyembah selain Allah bukan dari ajaran iran dan bukan produk ajaran bangsa iran.
3. Ayat Al-hujurat mengandung makna bahwa semua manusia berasal dari bapak dan ibu yang satu, dalam hal ini tidak perbedaan.
4. Frase kalimat Agar kamu saling mengenal, artinya personalitas bangsa harus independen sehingga antar bangsa yang satu dengan yang lainnya bisa dibedakan, maka dari perbedaan inilah kita akan saling mengenal.
5. Terakhir manusia hakikatnya menuju kesempurnaan melalui proses bermasyarakat secara alamiah dan bentuk peradaban yang dimulai dari kebudayaan.
Yang ketiga adalah pancasila adalah cerminan Pembela bangsa dan penegak agama Dialektika ideologi dunia kini mulai mengeras dan nampak teramat ganas. Mengapa tidak pertarungan pemikiran dalam frame ideologi melahirkan konsekwensi logis akan tata pola pikir dan cara bertindak seseorang. Pancasila lahir sebagai the alternative of ideologi dari kekacauan umat manusia. Sehingga bung karnoe sebagai pencetus pancasila mengangkat ideologi lima sila ini ke permukaan dunia sebagai solusi cinta dan perdamaian.
Pancasila selain posisinya the Filosofi Grondslag juga berkedudukan sebagai weltanschaung. Dalam hal ini perlu difahami bahwa Welatanschaung belum tentu menjelma menjadi Filosofi Grondslag, sebab Weltanschaung masyarakat telah membentuk karakter dan adat kebiasaan manusia dengan local wisdom masing masing daerah. Seperti adat tentang penegakkan hukum dan etika sosial yang berlaku, namun saat kita bertanya apakah sistem ini bisa diargumentasikan secara filosofis? jawabannya tentu tidak, sebab mereka tidak mengenal kaidah berfikir rasional dan mendalam seperti filsafat.
Local wisdom masyarakat adalah sebuah sistem yang telah membentuk manusia, dan itu adalah Weltanschaung dalam kehidupan mereka. Namun tidak menjadi sebuah Filosofi Grondslag. Katakanlah misalnya suku dayak dalam melakukan reboisasi mereka mempunyai adat setelah menebang pohon mereka membayar kekayaan alam dengan uang logam ditanam kedalam bumi. Terakhir, peneilitian mangatakan bahwa logam mempunyai zat tersendiri yang mampu menyuburkan tanah. Namun mereka tidak tahu menjelaskan secara rasio ideologis tentang adat istiadat mereka itu, sehingga itu bukan sebagai Filosofi Grondslag.
Begitupun sebaliknya Filosofi Grondslag belum tentu menjadi Weltanschaung. Maka kita mengenal pemikiran ideologi dunia hanya sebatas kekayaan intelektual belaka. Bahwa memang pemikiran seperti itu sesuatu yang sangat penting sebagai bahan analisis perbandingan pemikiran. Pemikiran beragam yang kita konsumsi tidak serta merta akan menjadi Weltanschaung (pandangan hidup) kita dalam beraktualisasi.
Membaca pemikiran Karl Marxs tentang paham pertentangan kelas proletariat dan borjuis yang dilatarbelakangi oleh kontadiksi internal (Ta’arudh Dakhiliyyah), membaca pemikiran Jalaluddin Rumi tentang konsep Cinta, atau Al-Hallaj tentang Al-Ittihadiyah-nya, atau Rene Descartes dengan pemikiran Rasionalisme-nya, atau bahkan Adam Smith tentang konsep Kapitalisme-nya dan beberapa pemikiran barat dan islam lainnya. Semua ini belum tentu menjadi pandangan hidup masyarakat kita. Pemikiran itu hanya akan bergelut dalam pikiran (Dzihni) saja tidak lebih, adapun tindakan itu sudah menjadi ranah praktis dibentuk Weltanschaung yang bisa dilatarbelakangi beberapa factor budaya, adat istiadat dan kepercayaan masyarakat.
Pancasila selain menjadi Filososi Grondslag yang begitu mendalam dari pendiri bangsa juga menjadi Weltanschaung sebagai bangsa indonesia. Jiwa bangsa ini digali dari filsafat pancasila dan menjadi nilai dasar dalam realisasi sikap tindakan rakyat indonesia. Pancasila adalah satu kesatuan ideologi dan pandangan hidup, sehingga akar nilai filosofis bangsa akan tetap mengakar kuat dalam bingkai keindonesian dan keislaman. Manifestasi ketuhanan yang kokoh dan kemanusiaan serta cinta tanah air terangkum dalam bait bait pancasila itu.
Ketiga point ini menuntut kita untuk memahami bahwa putra putri bangsa yang membela bangsanya sendiri artinya sudah menegakkan agamanya. Nasionalisme dan agama adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan adanya. Bukti real dan rasionalitas dari proposisi tersebut bisa melalui pendekatan kajian kebudayaan islam dan resolusi jihad kaum agamis. Islam dan kebangsaan meliputi syariat budaya dan local wisdom yang hidup saling memberi keharmonisan. Dalam istilah KH. Abdurrahman wahid disebut pribumisasi islam. Islam memasuki Indonesia tidak berubah makna dan nilainya. Melainkan mendapat bentuk baru. Jika sungai pada awalnya bersih, namun tengah perjalan perlahan mulai tercemar, itu bukan berarti sungainya berbeda. Tetap saja sungai sama namun perjalanan sejarah yang semakin menjauhkan kita dari Nabi membuat agama ini beragam dalam suku dan kebudayaan.
Wallahu a’lam bisshawab…..
Comments
Post a Comment