ISTIDRAJ PART II

ISTIDRAJ
PENGUNDURAN WAKTU YANG MEMBAWA MALAPETAKA

(Sayarah Nahj Al-Balaghah Ustadz Akbar Saleh) PART II

By: Farham Rahmat

Santri Khatamun Nabiyyin

“WA MAFTUNIN BIHUSNIN AL-QOULU FIHI, WA MA ABTALA ALLAHU AHADAN BIMITSLIHI AL-IMLA’I LAHU”

Artinya: Tertipu dengan perkataan-perkataan yang baik dengannya. Dan Allah tidak mmenguji seseorang kecuali IMLA’ baginya.

Coba perhatikan analisis pesan Sayyidina Ali, Semua perkataan yang bersifat pujian, seperti anda gagah anda cerdas, anda hebat, anda cantik dan sebagainya, cenderung menjebak diri dalam zona bangga dan sombong, dengan itu niscaya tiba tiba lupa dengan kekuarangannya dan semua aib yang lengket pada dirinya. Celaan walaupun benar adanya tetap tersinggung, pujian walaupun salah realitasnya justru malah senang riang. Pujian sifatnya akan menumbuhkan benih kesombongan, ujub dan bangga diri.

Sementara kritikan menampakkan sesuatu yang tidak baik pada diri malah baik sejatinya. Sebab hakikat kritikan adalah menampakkan kekurangan, dengan itu memacu motivasi untuk berbenah diri (Intropeksi diri). Segala sesuatu yang terlihat buruk bisa kita perbaiki, sebuah analogi sungguh amat berbahaya jika penyakit pada tubuh tidak terdeteksi selama hidup, sebab itulah yang akan merenggut nyawa secara perlahan. Namun jika penyakit itu dapat diketahui melalui diagnosa, mudah bagi kita untuk mengobati bahkan bisa mencegah jauh hari sebelumnya. Sebaliknya pujian seringkali meninabobokan hingga lupa diri, kita terbuai dan lalai dari penyakit yang menggerogoti. Akhirnya penyakit tersebut menjadi bom waktu yang menewaskan.

Yang keempat, Allah tidak memuji seseorang kecuali Imla. Apa arti dari Imla ? yaitu mengakhirkan masanya, mengundur masa penentuannya jika diundur azab. Contoh sederhana dalam melamar, ketika seseorang melamar perempuan kemudian keluarga perempuan mengundurnya dan instruksi kepada laki laki untuk mnunggu keputusan, maka ditulah ujian yang sebenarnya, disitulah ujian yang berat bagi laki-laki. Menunggu keputusan pasti apakah lamarannya diterima atau tidak. Kenapa berat ? karena semua manusia cenderung menyukai kepastian. Jika digantung yang terjadi malah kecurigaan dan kewaspadaan, kata yang biasa keluar dari orang yang digantung adalah “Jangan-jangan, Jangan-jangan” menunggu sesuatu yang tidak pasti diterima atau tidak, sementara banyak perempuan yang antri untuk dilamar dan lebih meyakinkan pastinya.

Ketika tidak bersabar menunggu jawaban kepastian, maka keluarga perempuan pasti bisa menilai, apalagi jika sampai mencari perempuan lain, atau melamar anak orang lain. Artinya orang tua perempuan akan berkata “laki laki tersebut tidak sabaran dan tidak mencintai sejati anak saya”. Sebab bentuk lain dari cinta hakiki itu adalah bersabar menunggu sebuah keastian, begitu banyak contoh dalam kehidupan ini kita menemui ujian dalam bentuk pengunduran waktu, kesabaran kita diuji bahkan tidak sedikit dari kita gagal dari ujian macam ini.

Dalam perkara ujian ini bukan manusia yang mengundur waktu seperti contoh melamar anak orang tadi, melainkan Allah langsung mengundurnya tanpa perantara. Berbeda dengan Nabi, seketika berbuat kesalahan (bukan dosa) langsung mendapat teguran dari Allah. Seperti Nabi Ya’qub yang lebih mencintai Nabi Yusuf ketimbang dengan suadara saudaranya, dalam perkara cinta itu adalah hal yang wajar, terkadang cinta juga memuat nilai diskriminatif, (namun disayangkan Ustadz Akbar tidak menjelaskan secara detail tentang prioritas cinta pada tulisan ini, semoga pada tulisan berikutnya beliau berbicara tentang cinta dan diskriminasi secara tuntas).

Diskriminasi Cinta itu Sangat terlihat pada saat Nabi Yusuf jauh dari Ayahandanya, dan Nabi Ya’qub tidak bersabar dari keterpisahan itu, akhirnya menampakkan diskriminatif cinta itu kepada anak-anaknya. Pengunduran waktu juga menjadi ujian disini, tidak ada kepastian apakah Nabi Ya’qub akan bertemu anaknya Nabi Yusuf atau tidak ? wajar sang ayah merasakan galau luar biasa, kenapa tidak ? sebab alam pun mengatahuinya bahwa siksa diatas siksa adalah ketika berpisah dari yang dicintainya.

Begitupun dengan Nabi Yunus, dari ribuan tahun umat Nabi Yunus selalu menantang untuk didatangkan sebuah bala bencana namun tak kunjung datang. Ratusan tahun Nabi Yunus berdakwah namun hanya segelintir manusia yang mengikutinya, selebihnya adalah membangkang. Nabi Yunus dengan lantang berdoa untuk mengazab mereka yang keras membangkang, setelah itu Nabi Yunus pergi, dengan kepergiannya itulah Nabi Yunus ditelan oleh ikan yang bernama ikan ن (Nun) dan masuk kedalam lautan yang dalam.
Ditelan ikan adalah bentuk teguran dari Allah, sebab kesalahan Nabi Yunus adalah meninggalkan misi dakwah islam yang belum selesai. Meinggalkan umat adalah bentuk dari ketidaksabaran menjalani proses dakwah, tidak ada kepastian umat ini akan taubat tau tidak, bahkan malah menjadi jadi pembangkangannya. Walaupun Secara logika manusia awam kepergian Nabi Yunus wajar adanya, sebab kaum yang begitu membangkang dan sangat mustahil untuk terbuka hatinya.

Begitupun dengan perjumpaan dengan Nabi Musa dan Nabi Khidir, Nabi Musa tidak mendapatkan ilmu banyak dari Nabi Khidir disebabkan oleh ketidaksabaran Nabi Musa, meskipun dalam pengakuannya selalu sabar dan istiqomah bersamaa Nabi Khidir. Bertanya dan selalu bertanya kepada Nabi Khidir, tidak ada kepastian baik atau tidak, disaat nabi khidir membocori kapal besar, disaat nabi khidir membunuh anak kecil, semua dilakukan tanpa ada penjelasan rasio sedikitpun, sehingga Nabi Musa tidak pernah diam mempelajari ilmu Nabi Khidir, bertanya dan bertanya protes mengapa seperti itu ? padahal ribuan kilo mencari Nabi Khidir niat awalnya adalah untuk bisa belajar kepadanya, namun hanya mendapatkan tiga pelajaran saja kemudian berpisah. Itu akibat dari ketidaksabaran, seperti kata Nabi Khidir “Anda tidak akan sabar bersamaku”.

Istidraj lahir pertama adalah karena kelalaian dari nikmat yang terus mengalir, yang kedua adalah tertutupnya aib, sehingga kita cenderung tidak merasa kotor, yang ketiga adalah pujian, hati hati dengan pujian. Pujian bergelantungan dimana-mana, pujian ada pada dunia real sehari-hari pun juga ada di media social seperti retting like dan kolom komentar juga adalah bentuk pujian virtual. Dari pujian ini, yang dikhawatirkn adalah keterlenaan. Begitu banyak pemimpin dunia yang rakyatnya banyak mengagumi serta pujian dari rakyat dan negaranya. Seperti soekarno yang disambut oleh warga jakarta, Mussollini disambut warga italia, atau Mao Tse Tsung atau Mahatma Gandhi dan pemimpin dunia lainnya.

Pujian dari fans terkadang bisa membahayakan ketulusan dan cinta seseorang. Membuat manusia menjadi sombong dan lupa diri. Itulah mengapa Pemimpin Revolusi Iran Ayatullah Khomeini sangat tenang dan tidak terpengauh banyaknya manusia yang bersorak menyukainya, bahkan dikatakan jika lautan manusia yang ada dihadapanku mencintaiku berubah hati spontan menjadi membenciku, itu tidak akan berpengaruh sedkitipun pada ketetapan hati, saya melambaikan tangan bukan karena aku ingin dipuji, namun karena aku tidak ingin mereka kecewa. Kebesaran yang manusia miliki di dunia ini tidak berarti apa apa dihadapan Allah, semua ini adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

15 Januari 2019

Comments

Popular posts from this blog

Tips Berbahagia Ala Aristoteles

Hanya Homo Symbolicum yang Memahami USSUL

PESAN SAKTI RANGGAWARSITHA