ISTIDRAJ
ISTIDRAJ
PENGUNDURAN WAKTU MEMBAWA MALAPETAKA
(Sayarah Nahj Al-Balaghah Ustadz Akbar Saleh) PART 1
By: Farham Rahmat
Santri Khatamun Nabiyyin
KAM MIN MUSTDRAJ BIL IHSANI ILAIHI, WA MAGRURI BIL AS-SATRI ALAIHI, WA MAFTUNIN BIHUSNIN AL-QOULU FIHI, WA MA ABTALA ALLAHU AHADAN BIMITSLIHI AL-IMLA’I LAHU
Betapa banyak orang yang mengalami Mustadraj, dia terperdaya dengan ditutupi dosa-dosanya.
Diantara pengutusan Nabi, Rasul dan menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia (Hudan Li-Annas) adalah membangunkan manusia dari kelalaian (Tanbih Al-Ghofilin), mengapa manusia banyak menemui kegagalan dalam hidup ? sebabnya manusia banyak yang lalai. Itulah mengapa Nabi dan kitab diturunkan ke muka bumi sebagai peringatan dan menyadarkan manusia pada tujuan utama penciptaan. Terkadang kita tertipu dengan godaan duniawi, salah langkah dalam proses hidup ini. Ada yang berusaha mencari petunjuk malah tertipu, malah fatamorgana dan petunjuk dari iblis ditemukannya.
Terkadang ada yang menemukan petunjuk yang benar, namun tidak istiqomah menjalankan tugas petunjuk tersebut. kategori pertama dan kedua semuanya adalah efek dari kelalaian. Lalai bukan karena hanya lupa, namun juga berarti kemalasan tidak ingin melaksanakan tugas kemanusiaan yang ada. Contoh sederhana mati, semua tahu akan kematian namun sangat sulit mempersiapkan apa saja yang bekal terindah dan terbaik untuk akhirat. Kita mengetahui jelas bahwa apapun jabatanmu, presiden, ketu DPR, tentara, hakim agung, pengacara, kiyai, habib atau ulama pasti akan menemui kematian. Setiap saat pada diri kita kematian selalu mengintai, kita tidak bisa memastikan apakah kita masih bisa hidup tahun depan atau tidak ? bahkan besok atau satu jam, atau satu detik setelah membaca tulisan ini tidak ada jaminan untuk tetap hidup ?
Namun kita hanya mengetahui bahwa satu satunya yang pasti adalah kematian, tidak ada kepastian yang sepasti mati, boleh saja kita bercita-cita menjadi kepala desa, bupati, menjadi pilot atau dokter semua itu adalah tidak pasti adanya, ada saja sebab yang akan menghalangi, sementara kematian pasti akan menjumpai. Lalu, dengan pengetahuan itu, malah kita sering lalai di kehidupan dunia ini. Padahal kita tahu apa saja yang harus dipersiapkan untuk akhirat, jika ingin bepergian semua bekal dan kebutuhan pasti akan dipersiapkan, semakin lama perginya maka semakin banyak juga bekal yang akan dipersiapkan untuk keselamatan, lalu bagaimana dengan akhirat ? kita kesana bukan lama lagi, tapi selama-lamanya nan abadi, tentunya membutuhkan bekal yang besar juga untuk selamat. Itulah kelalaian, lalai juga bermakna tahu yang terbaik, namun tidak tidak ada kekuatan untuk menghindarinya.
Pesan Yang disampaikan oleh imam ali adalah membangunkan diri manusia dari kelalaian sehingga dikatakan dengan nada bahasa yang akurat.
Ka min mustadrajin, bi ihsani ilaihi Betapa banyak orang yang mengalami mustadraj, dia terperdaya dengan ditutupi dosa-dosanya.
Mari kita perhatikan pesan singkat ini dengan mulai memahami makna ISTIDRAJ. Secara kajian leksikal bahasa arab berasal dari kata (darraja- yudarriju-tadrijan) artinya bertahap/bertingkat. Sayyidina Ali menggunakan diksi akhlaki yaitu ISTIDRAJ bermakna seseorang yang telah diberikan kenikmatan, kenikmatan dan terus kenikamatan sampai lupa diri, sehingga diundur-undur azabnya, sementara dia dalam keadaan diberikan kenikmatan meskipun kepada orang yang berlumur dosa.
Kepribadiannya buruk, banyak bermaksiat, hobby berbuat dosa, keimanan yang sangat kurang, namun selalu mendapat Rezeki dan kenikmatan. Dia bersyukur dengan rezeki itu, lalu menggunakannya dengan foya foya, main perempuan di diskotik, mempergunakan rezeki itu kepada semua hal-hal yang bertentangan dengan perintah sang pemberi rezeki, namun kenikmatan malah lebih bertambah. Atau issue yang masih hangat membayar perempuan 80 juta, tidak lama kemudian dapat rezeki lagi dengan mudahnya.
Pada kondisi seperti ini, pemberian Allah terkucur tiada tara dari nikmat ini melahirkan lupa akan diri, lupa bersyukur, lupa bertaubat dan lupa segala-galanya dengan kebaikan dan akhirnya tinggal menunggu giliran bom waktu meledak, Allah memberikan azab. Imam Ja’far Shodiq mengajarkan kita untuk mengetahui nikmat yang sebenarnya dan nikmat istidroj. Beliau mengatakan bawa ciri dari keduanya pada saat kita berlumur dosa malah rezeki bertambah nikmat dari Tuhan. Jika sudah demikian jangan sekali-kali berbaik sangka kepada Allah dengan bersukur kepadanya, sebab itulah awal dari azab.
Kenikmatan yang diberikan harus dilakukan degan cara menggunakan dalam kebaikan. Harta digunakan untuk membantu fakir miskin, anak yatim dan membantu saudara saudara kita yang kurang mampu. Ilmu digunakan untuk kemasalahatan umat, mencerdaskan kehidupan bangsa agar saudara saudara kita ikut merasakan kesejahteraan ilmu dan kedamaian dunia. Kesehatan yang dititipkan kita gunakan untuk beribadah serta berdoa menyembah rukuk sujud kepada sang pemberi kesehatan. Begitupun dengan seluruh parallel organ tubuh yang lengkap dan sehat, kita gunakan untuk kebaikan. Jadi, sederhana semua kenikmatan yang kita dapatkan dari Allah layaknya untuk kebaikan sejati.
Kata Istidroj juga ada dalam al-qur’an dengan nada “Walladzina Kazzabu Biayatina, Sanastadrijuhum, Min Haitsu La Ya’lamun” orang yang mendustakan ayat ayat kami, maka kami akan mengistidroj (menangguhkan kenikmatan yang membawa azab) mereka, dari arah yang mereka tidak ketahui. Ayat ini Menggunakan kalimat “Arah yang tidak diketahui” karena manusia yang lalai dalam keadaan nikmat sudah pasti mengalami kelalaian. Lalai itulah yang mengundang azab dari arah tidak diketahuinya, tidak mengetahui karena kelalaian atau tidak menyadari sesuatu yang akan menimpanya. Dari arah manapun dari samping kiri, kanan, atas, bawah atau empat penjuru mata angin semua tidak diketahuinya, alasannya satu, yaitu lalai.
Manusia yang mendustakan ayat-ayat Allah juga termasuk orang-orang yang lalai, mereka mengetahui namun tidak melakukan apa yangL diketahuinya. Dari kenikmatan itulah dia mendapatkan azab. Mari kita refleksi membaca kembali pelajaran hidup Nabi sulaiman ketika diberikan kekayaan yang luar biasa tiada tara, tiada bandingannya di dunia ini, justru Nabi Sulaiman berkata “Li Yaadhulluani A’askuru Am Akfuru” semua harta, semua kemampuan yang saya miliki sampai bisa berinteraksi dengan jin, binatang, bahkan mampu mendengar dan memahami makna arti suara semut, kemudian kerajaan yang diwarisi begitu megahnya mengalahkan istana Forbidden City di Tiongkok atau Istana Palace di turki bahkan istana khayalan seperti Disney land. Semua kekayaan itu tidak membuatnya lalai.
Belum lagi ilmu dan kemampuan Nabi Sulaiman, muridnya bisa memindahkan istana dalam satu kedipan, kecerdasan yang luar biasa. Namun Nabi Sulaiman tetap terjaga dan tidak lalai terbukti diabadikan dalam Al-Qur’an dengan bahasa indah “Sesunggunya ini semua adalah ujian bagi saya, apakah saya akan bersykuru atau kufur”. Betapa banyak orang yang cacat yang ingin berbuat kebaikan namun tidak maksimal, betapa banyak yang sakit ingin sehat untuk berbuat baik. Sebab itu, kita yang sehat gunakan kesehatan yang ada. Banyak berikir, berdzikir, belajar, tadabbur, semua menginginkan poisisi nyaman untuk mendambakan tempat nyaman. Kalau kita gagal dan terjebur dalam istidraj, sungguh azab Allah pasti menyusul.
Selanjutnya “WA MAGRURI BIL AS-SATRI ALAIHI” dia terperdaya dengan ditutupi dosa-dosanya.
Jika seandainya orang lain tahu makna yang terkandung dalam diri kita dengan aib, maka sungguh mereka tidak akan mau bertemu dg kita. Namun Allah maha Saataril uyub maha menuutupi aib. Terkadang juga sampai lalai dan menganggap dirinya baik dan perbuatan dosanya tidak dianggap dosa. Akhirnya merasa suci dan dan ujub merasa bangga diri. Kita masih dianggap baik oleh manusia karena aib kita ditututpi oleh Allah. Makanya (la tuzakuu anfusakum) “jangan menganggap diri kalian suci” selalu lah ingat bahwa kita selalu serba kekuarangan, tidak ada kelebihan kita kecuali kekuaranag itu sendiri.
Salah satu makna dari pesan Sayyidina Ali “Man araf nafsahu fa qod arafa rabbahu”. Kita mengenal diri penuh denga (Ajz) lemah secara mutlak, kebodohoan mutlak, kemiskinan secara mutlak, kehinaan secara mutlak. Dengan mengenal diri dalam kelemahan yang sempurna maka pasti sudah mengenal Allah. Meyakini bahwa kita tidak punya kelebihan, satu satunya kelebihan kita adalah kekuarangan. Mengenal Allah adalah la haula wa la quwwata illa billah. Merasa baik, merasa pintar, merasa suci maka kita tidak pernah mengenal Allah, sebab itu adalah sebaliknya semua keuatamaan yang ditempelkan pada diri adalah kebalikan sejati. Semua yg kita pelajari dari sekolah dasar sampai tingkat professor, kita akan menemukan puncak pengetahuan adalah bahwa kita tidak mengetahui apa apa. Hal tersebut memang kontradiksi, namun demikianlah adanya.
Maka itulah dia menghamba yang sebenarrnya. Ustadz akbar dengan cerdas mengemukakan Analogi budak yang berbadan besar, namun tidak memberontak kepada tuannya yang kecil tua. Sebab karakter budak itulah yang dia tahu, hanya tahu disuapi oleh tuannya. Perbudakan masa Nabi berjalan sesuai dengan infrastrukutur, dan penghapusan budak pasti terlaksana masih terasa pada zaman Kehadiran Nabi ditengah-tengah umat. Apakah Nabi membolehkan konsep perbudakan (kolonilalisme klasik) ? tentu tidak. insya Allah saya lanjutkan rangkaian kalimat pesan Sayyidina Ali dari analisis ustadz Akbar Saleh pada tulisan berikutnya.
Wallahu a’lam bisshawab…
Jakarta, 15 Januari 2019
PENGUNDURAN WAKTU MEMBAWA MALAPETAKA
(Sayarah Nahj Al-Balaghah Ustadz Akbar Saleh) PART 1
By: Farham Rahmat
Santri Khatamun Nabiyyin
KAM MIN MUSTDRAJ BIL IHSANI ILAIHI, WA MAGRURI BIL AS-SATRI ALAIHI, WA MAFTUNIN BIHUSNIN AL-QOULU FIHI, WA MA ABTALA ALLAHU AHADAN BIMITSLIHI AL-IMLA’I LAHU
Betapa banyak orang yang mengalami Mustadraj, dia terperdaya dengan ditutupi dosa-dosanya.
Diantara pengutusan Nabi, Rasul dan menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia (Hudan Li-Annas) adalah membangunkan manusia dari kelalaian (Tanbih Al-Ghofilin), mengapa manusia banyak menemui kegagalan dalam hidup ? sebabnya manusia banyak yang lalai. Itulah mengapa Nabi dan kitab diturunkan ke muka bumi sebagai peringatan dan menyadarkan manusia pada tujuan utama penciptaan. Terkadang kita tertipu dengan godaan duniawi, salah langkah dalam proses hidup ini. Ada yang berusaha mencari petunjuk malah tertipu, malah fatamorgana dan petunjuk dari iblis ditemukannya.
Terkadang ada yang menemukan petunjuk yang benar, namun tidak istiqomah menjalankan tugas petunjuk tersebut. kategori pertama dan kedua semuanya adalah efek dari kelalaian. Lalai bukan karena hanya lupa, namun juga berarti kemalasan tidak ingin melaksanakan tugas kemanusiaan yang ada. Contoh sederhana mati, semua tahu akan kematian namun sangat sulit mempersiapkan apa saja yang bekal terindah dan terbaik untuk akhirat. Kita mengetahui jelas bahwa apapun jabatanmu, presiden, ketu DPR, tentara, hakim agung, pengacara, kiyai, habib atau ulama pasti akan menemui kematian. Setiap saat pada diri kita kematian selalu mengintai, kita tidak bisa memastikan apakah kita masih bisa hidup tahun depan atau tidak ? bahkan besok atau satu jam, atau satu detik setelah membaca tulisan ini tidak ada jaminan untuk tetap hidup ?
Namun kita hanya mengetahui bahwa satu satunya yang pasti adalah kematian, tidak ada kepastian yang sepasti mati, boleh saja kita bercita-cita menjadi kepala desa, bupati, menjadi pilot atau dokter semua itu adalah tidak pasti adanya, ada saja sebab yang akan menghalangi, sementara kematian pasti akan menjumpai. Lalu, dengan pengetahuan itu, malah kita sering lalai di kehidupan dunia ini. Padahal kita tahu apa saja yang harus dipersiapkan untuk akhirat, jika ingin bepergian semua bekal dan kebutuhan pasti akan dipersiapkan, semakin lama perginya maka semakin banyak juga bekal yang akan dipersiapkan untuk keselamatan, lalu bagaimana dengan akhirat ? kita kesana bukan lama lagi, tapi selama-lamanya nan abadi, tentunya membutuhkan bekal yang besar juga untuk selamat. Itulah kelalaian, lalai juga bermakna tahu yang terbaik, namun tidak tidak ada kekuatan untuk menghindarinya.
Pesan Yang disampaikan oleh imam ali adalah membangunkan diri manusia dari kelalaian sehingga dikatakan dengan nada bahasa yang akurat.
Ka min mustadrajin, bi ihsani ilaihi Betapa banyak orang yang mengalami mustadraj, dia terperdaya dengan ditutupi dosa-dosanya.
Mari kita perhatikan pesan singkat ini dengan mulai memahami makna ISTIDRAJ. Secara kajian leksikal bahasa arab berasal dari kata (darraja- yudarriju-tadrijan) artinya bertahap/bertingkat. Sayyidina Ali menggunakan diksi akhlaki yaitu ISTIDRAJ bermakna seseorang yang telah diberikan kenikmatan, kenikmatan dan terus kenikamatan sampai lupa diri, sehingga diundur-undur azabnya, sementara dia dalam keadaan diberikan kenikmatan meskipun kepada orang yang berlumur dosa.
Kepribadiannya buruk, banyak bermaksiat, hobby berbuat dosa, keimanan yang sangat kurang, namun selalu mendapat Rezeki dan kenikmatan. Dia bersyukur dengan rezeki itu, lalu menggunakannya dengan foya foya, main perempuan di diskotik, mempergunakan rezeki itu kepada semua hal-hal yang bertentangan dengan perintah sang pemberi rezeki, namun kenikmatan malah lebih bertambah. Atau issue yang masih hangat membayar perempuan 80 juta, tidak lama kemudian dapat rezeki lagi dengan mudahnya.
Pada kondisi seperti ini, pemberian Allah terkucur tiada tara dari nikmat ini melahirkan lupa akan diri, lupa bersyukur, lupa bertaubat dan lupa segala-galanya dengan kebaikan dan akhirnya tinggal menunggu giliran bom waktu meledak, Allah memberikan azab. Imam Ja’far Shodiq mengajarkan kita untuk mengetahui nikmat yang sebenarnya dan nikmat istidroj. Beliau mengatakan bawa ciri dari keduanya pada saat kita berlumur dosa malah rezeki bertambah nikmat dari Tuhan. Jika sudah demikian jangan sekali-kali berbaik sangka kepada Allah dengan bersukur kepadanya, sebab itulah awal dari azab.
Kenikmatan yang diberikan harus dilakukan degan cara menggunakan dalam kebaikan. Harta digunakan untuk membantu fakir miskin, anak yatim dan membantu saudara saudara kita yang kurang mampu. Ilmu digunakan untuk kemasalahatan umat, mencerdaskan kehidupan bangsa agar saudara saudara kita ikut merasakan kesejahteraan ilmu dan kedamaian dunia. Kesehatan yang dititipkan kita gunakan untuk beribadah serta berdoa menyembah rukuk sujud kepada sang pemberi kesehatan. Begitupun dengan seluruh parallel organ tubuh yang lengkap dan sehat, kita gunakan untuk kebaikan. Jadi, sederhana semua kenikmatan yang kita dapatkan dari Allah layaknya untuk kebaikan sejati.
Kata Istidroj juga ada dalam al-qur’an dengan nada “Walladzina Kazzabu Biayatina, Sanastadrijuhum, Min Haitsu La Ya’lamun” orang yang mendustakan ayat ayat kami, maka kami akan mengistidroj (menangguhkan kenikmatan yang membawa azab) mereka, dari arah yang mereka tidak ketahui. Ayat ini Menggunakan kalimat “Arah yang tidak diketahui” karena manusia yang lalai dalam keadaan nikmat sudah pasti mengalami kelalaian. Lalai itulah yang mengundang azab dari arah tidak diketahuinya, tidak mengetahui karena kelalaian atau tidak menyadari sesuatu yang akan menimpanya. Dari arah manapun dari samping kiri, kanan, atas, bawah atau empat penjuru mata angin semua tidak diketahuinya, alasannya satu, yaitu lalai.
Manusia yang mendustakan ayat-ayat Allah juga termasuk orang-orang yang lalai, mereka mengetahui namun tidak melakukan apa yangL diketahuinya. Dari kenikmatan itulah dia mendapatkan azab. Mari kita refleksi membaca kembali pelajaran hidup Nabi sulaiman ketika diberikan kekayaan yang luar biasa tiada tara, tiada bandingannya di dunia ini, justru Nabi Sulaiman berkata “Li Yaadhulluani A’askuru Am Akfuru” semua harta, semua kemampuan yang saya miliki sampai bisa berinteraksi dengan jin, binatang, bahkan mampu mendengar dan memahami makna arti suara semut, kemudian kerajaan yang diwarisi begitu megahnya mengalahkan istana Forbidden City di Tiongkok atau Istana Palace di turki bahkan istana khayalan seperti Disney land. Semua kekayaan itu tidak membuatnya lalai.
Belum lagi ilmu dan kemampuan Nabi Sulaiman, muridnya bisa memindahkan istana dalam satu kedipan, kecerdasan yang luar biasa. Namun Nabi Sulaiman tetap terjaga dan tidak lalai terbukti diabadikan dalam Al-Qur’an dengan bahasa indah “Sesunggunya ini semua adalah ujian bagi saya, apakah saya akan bersykuru atau kufur”. Betapa banyak orang yang cacat yang ingin berbuat kebaikan namun tidak maksimal, betapa banyak yang sakit ingin sehat untuk berbuat baik. Sebab itu, kita yang sehat gunakan kesehatan yang ada. Banyak berikir, berdzikir, belajar, tadabbur, semua menginginkan poisisi nyaman untuk mendambakan tempat nyaman. Kalau kita gagal dan terjebur dalam istidraj, sungguh azab Allah pasti menyusul.
Selanjutnya “WA MAGRURI BIL AS-SATRI ALAIHI” dia terperdaya dengan ditutupi dosa-dosanya.
Jika seandainya orang lain tahu makna yang terkandung dalam diri kita dengan aib, maka sungguh mereka tidak akan mau bertemu dg kita. Namun Allah maha Saataril uyub maha menuutupi aib. Terkadang juga sampai lalai dan menganggap dirinya baik dan perbuatan dosanya tidak dianggap dosa. Akhirnya merasa suci dan dan ujub merasa bangga diri. Kita masih dianggap baik oleh manusia karena aib kita ditututpi oleh Allah. Makanya (la tuzakuu anfusakum) “jangan menganggap diri kalian suci” selalu lah ingat bahwa kita selalu serba kekuarangan, tidak ada kelebihan kita kecuali kekuaranag itu sendiri.
Salah satu makna dari pesan Sayyidina Ali “Man araf nafsahu fa qod arafa rabbahu”. Kita mengenal diri penuh denga (Ajz) lemah secara mutlak, kebodohoan mutlak, kemiskinan secara mutlak, kehinaan secara mutlak. Dengan mengenal diri dalam kelemahan yang sempurna maka pasti sudah mengenal Allah. Meyakini bahwa kita tidak punya kelebihan, satu satunya kelebihan kita adalah kekuarangan. Mengenal Allah adalah la haula wa la quwwata illa billah. Merasa baik, merasa pintar, merasa suci maka kita tidak pernah mengenal Allah, sebab itu adalah sebaliknya semua keuatamaan yang ditempelkan pada diri adalah kebalikan sejati. Semua yg kita pelajari dari sekolah dasar sampai tingkat professor, kita akan menemukan puncak pengetahuan adalah bahwa kita tidak mengetahui apa apa. Hal tersebut memang kontradiksi, namun demikianlah adanya.
Maka itulah dia menghamba yang sebenarrnya. Ustadz akbar dengan cerdas mengemukakan Analogi budak yang berbadan besar, namun tidak memberontak kepada tuannya yang kecil tua. Sebab karakter budak itulah yang dia tahu, hanya tahu disuapi oleh tuannya. Perbudakan masa Nabi berjalan sesuai dengan infrastrukutur, dan penghapusan budak pasti terlaksana masih terasa pada zaman Kehadiran Nabi ditengah-tengah umat. Apakah Nabi membolehkan konsep perbudakan (kolonilalisme klasik) ? tentu tidak. insya Allah saya lanjutkan rangkaian kalimat pesan Sayyidina Ali dari analisis ustadz Akbar Saleh pada tulisan berikutnya.
Wallahu a’lam bisshawab…
Jakarta, 15 Januari 2019
Comments
Post a Comment