Menolak pembusukan Filsafat
MENOLAK PEMBUSUKAN FILSAFAT
By: Farham Rahmat
Santri Millenial
Menolak Pembusukan filsafat adalah tema diskusi 13 Februari 2019 di Tjikini lima jakarta pusat. Berhasil mendatangkan pembicara yang handal seperti Goenawan Muhammad (Sastrawan Senior), Donny Gahral Adian (dosen filsafat UI), A. Setyo wibowo (Dosen Filsafat STF Driyarkara) dan Akhmad sahal (Alumni STF Driyarkara) dan Mochtar Pabbottingi. Audiens yang hadir membludak, ruang diskusi menyempit tidak kuat menampung, bahkan Prof Komaruddin Hidayat, Prof Franksiskus Mudji Sutrisno, Prof Toeti Heraty, dan masih banyak tokoh filsuf juga hadir menyimak.
Diskusi yang sangat menarik ketika Akhmad Sahal mulai mengatakan, ketika ada pembusukan filsafat artinya filsafat itu masih hidup di tengah masyarakat. Dalam fenoemena hari ini sikap kritis sangat dipengaruhi oleh kondisi krisis juga. Kondisi mensyaratkan kita untuk kritis. Bahayanya, sifat kritis cenderung ke arah pemaknaan politik pilpres no urut 1 atau 2. Polarisasi yang terjadi di belahan dunia bukan hanya di Indonesia. Politik adalah adu absolute dalam kebenaran masing-masing mempertahankan.
Seseorang belajar filsafat artinya dia sudah merasakan ketidak tahuan, semakin tahu maka semakin dia tidak tahu, kehati-hatian, kita tahu kalau kita tidak tahu. Sangat bertentangan dengan absolutism yang terjadi dalam politik hari ini. Hannah Arendt menjelaskan kebenaran dan politik, bahwa kebenaran politik adalah doksa. Doksa adalah bukan ajaran tetapi opini. Dan kita tidak tahu mana yang paling benar. Jadi absolutism kebenaran dalam politik tidak dibenarkan.
Olehnya itu, kebenaran dalam politik sifatnya tentative, tugas filsafat disini. Juga filsafat bermakna tendensi polarisasi yang mengatakan bahwa akal berpihak kepada beberapa pihak. Jangan dipake akal itu untuk menutup selubung selubung ideologis itu. Contoh sederhana, diksi kitab suci itu fiksi oleh Rocky Gerung. Jika diperhatikan lebih detail, Rocky tidak sedang membahas kitab suci, namun sedang membela fiksinya prabowo yang menyatakan 2020 indonesia bubar, dan itu adalah fiksi. Rocky tidak mau bilang kalau fiksi itu imaginasi, tetapi makna terkandung dan ingin disampaikan rocky adalah jangan ruwet melihat fiksi prabowo, karena itu justru membuat kita kreatif. Intinya adalah argument indah itu hanya pembelaan politik dengan senjata filsafat ideologis. Dan itulah pembusukan filsafat.
Problem hari ini adalah upaya menjadikan sesuatu secara mutlak, sehingga cenderung mengatakan moral atau tidak moral. Padahal pilpres ini hanyalah memilih orang yang kita kontrak selama lima tahun setelah itu selesai. Lanjut lagi pemilu dan kontrak lagi, setelah itu selesai lagi. Tapi dengan gaya retorika, selubung ideologis mencipta suasana seolah olah ini adalah perang antara partai Allah melawan partai setan. Goenawan Muhammad melalui forum itu, mengajak para pilsuf untuk turun dari perpustakaan menuju kejalan-jalan melihat kondisi masyarakat. Namun ada pilsuf, di perpustakaan tidak ada, di jalan juga tidak ada. Saya memaknai bahasa itu, pilsuf yang sedang asyik bertengger di kursi basah.
Pilsuf dikenal memang selalu di perpustakaan, namun setelah turun ke jalan, dia tidaklah menginginkan kekuasaan, uang, jabatan, dan tepuk tangan kebanggaan. Pilsuf menginginkan nilai kebenaran tersampaikan. Terkadang pilsuf juga harus berpolitik, namun politik pilsuf adalah membawa nilai dasar filsafat yang tidak terganggu dengan factor factor menggiurkan, apalagi sampai melalaikan hati dan akal sehat. Pilsuf itu tidak meneror pemikiran dengan doktrin-doktrin yang ada. Jika kita di perpustakaan ingat jalan, jika kita dijalan ingat perpustakaan. Keseimbangan antara gagasan dari perpustakaan harus dirasakan oleh masyarakat di jalanan.
Mukhtar Pabboottingi, melanjutkan akan pentingnya kerendah hatian. Filsafat dan Demokrasi sama sama menghendaki kerendah hatian, tidak berusaha mencari kebenaran-kebenaran final. Demokrasi membenarkan system apa yang bagus lima tahun kedepan, bukan membenarkan kebenaran sebagaimana kebanaran itu. Jika kebenaran itu final, maka sama saja membunuh demokrasi dan filsafat. Wisdom tidak mencari kebenaran final, tetapi bagaimana kita saling mencintai dengan baik. Dari dasar ini, perkataan Rocky Gerung dengan diksi kitab suci itu adalah keliru adanya. Karena milyaran orang menganggap kitab suci bukan fiksi. Bangsa ini menghendaki untuk kita menghormati kebudayaan.
Clifort gertz mengatakan tentang kebudayaan yang nyata, dan yang nyata adalah kitab suci itu, kenapa ? karena ada wisdom disitu. Seperti Abu Thalib tidak memeluk islam, bukan karena tidak tahu islam, tapi memikirkan apa yang selama menjadi pegangan kita, harus kita buang semuanya dan akhirnya menjadi chaos, begitupun dengan kejatuhan roma, karena tidak memelihara tradisi sebagai identitasnya. Wisdom harus mampu membuka pikiran untuk mengormati sesama. Lalu dengan independensi pemikiran bukan semata pikiran, tetapi kita bisa berdiri sendiri dengan wisdom itu. Artinya tidak dijajah oleh orang lain.
Terakhir Romo setyo Wibowo menuliskan naskah mengukur kata, kembali ke data. Filsafat dikenal sebagai ibu semua ilmu, orang yang belajar filsafat lantas merasa bisa mengomentari segala hal. Sehingga Socrates dalam gurauan bersama Kritias mengingatkan “HATI-HATI DENGAN CLAIM FILSAFAT SEBAGAI ILMU YANG MAMPU MEMBAHAS SEGALA SESUATU”. Karena dengan kecanggihan kata-kata filosofis yang diungkapkan, ternyata terbukti membicarakan sesuatu yang tidak ilmiah atau sesuatu yang bukan ilmu. Hati hati dengan claim filsafat sebagai ilmu universal yang bisa berujung pada “Omong kosong”. Pesan Socrates, aku tahu bahwa aku tidak tahu, artinya kita mesti tahu diri, harus berhati-hati supaya tidak “Sok Tahu”.
“Platon Adalah Musuh Besar Sofisme, Meski Ia Tak Selalu Menang Atasanya”.
Jakarta, 15 Februari 2019
By: Farham Rahmat
Santri Millenial
Menolak Pembusukan filsafat adalah tema diskusi 13 Februari 2019 di Tjikini lima jakarta pusat. Berhasil mendatangkan pembicara yang handal seperti Goenawan Muhammad (Sastrawan Senior), Donny Gahral Adian (dosen filsafat UI), A. Setyo wibowo (Dosen Filsafat STF Driyarkara) dan Akhmad sahal (Alumni STF Driyarkara) dan Mochtar Pabbottingi. Audiens yang hadir membludak, ruang diskusi menyempit tidak kuat menampung, bahkan Prof Komaruddin Hidayat, Prof Franksiskus Mudji Sutrisno, Prof Toeti Heraty, dan masih banyak tokoh filsuf juga hadir menyimak.
Diskusi yang sangat menarik ketika Akhmad Sahal mulai mengatakan, ketika ada pembusukan filsafat artinya filsafat itu masih hidup di tengah masyarakat. Dalam fenoemena hari ini sikap kritis sangat dipengaruhi oleh kondisi krisis juga. Kondisi mensyaratkan kita untuk kritis. Bahayanya, sifat kritis cenderung ke arah pemaknaan politik pilpres no urut 1 atau 2. Polarisasi yang terjadi di belahan dunia bukan hanya di Indonesia. Politik adalah adu absolute dalam kebenaran masing-masing mempertahankan.
Seseorang belajar filsafat artinya dia sudah merasakan ketidak tahuan, semakin tahu maka semakin dia tidak tahu, kehati-hatian, kita tahu kalau kita tidak tahu. Sangat bertentangan dengan absolutism yang terjadi dalam politik hari ini. Hannah Arendt menjelaskan kebenaran dan politik, bahwa kebenaran politik adalah doksa. Doksa adalah bukan ajaran tetapi opini. Dan kita tidak tahu mana yang paling benar. Jadi absolutism kebenaran dalam politik tidak dibenarkan.
Olehnya itu, kebenaran dalam politik sifatnya tentative, tugas filsafat disini. Juga filsafat bermakna tendensi polarisasi yang mengatakan bahwa akal berpihak kepada beberapa pihak. Jangan dipake akal itu untuk menutup selubung selubung ideologis itu. Contoh sederhana, diksi kitab suci itu fiksi oleh Rocky Gerung. Jika diperhatikan lebih detail, Rocky tidak sedang membahas kitab suci, namun sedang membela fiksinya prabowo yang menyatakan 2020 indonesia bubar, dan itu adalah fiksi. Rocky tidak mau bilang kalau fiksi itu imaginasi, tetapi makna terkandung dan ingin disampaikan rocky adalah jangan ruwet melihat fiksi prabowo, karena itu justru membuat kita kreatif. Intinya adalah argument indah itu hanya pembelaan politik dengan senjata filsafat ideologis. Dan itulah pembusukan filsafat.
Problem hari ini adalah upaya menjadikan sesuatu secara mutlak, sehingga cenderung mengatakan moral atau tidak moral. Padahal pilpres ini hanyalah memilih orang yang kita kontrak selama lima tahun setelah itu selesai. Lanjut lagi pemilu dan kontrak lagi, setelah itu selesai lagi. Tapi dengan gaya retorika, selubung ideologis mencipta suasana seolah olah ini adalah perang antara partai Allah melawan partai setan. Goenawan Muhammad melalui forum itu, mengajak para pilsuf untuk turun dari perpustakaan menuju kejalan-jalan melihat kondisi masyarakat. Namun ada pilsuf, di perpustakaan tidak ada, di jalan juga tidak ada. Saya memaknai bahasa itu, pilsuf yang sedang asyik bertengger di kursi basah.
Pilsuf dikenal memang selalu di perpustakaan, namun setelah turun ke jalan, dia tidaklah menginginkan kekuasaan, uang, jabatan, dan tepuk tangan kebanggaan. Pilsuf menginginkan nilai kebenaran tersampaikan. Terkadang pilsuf juga harus berpolitik, namun politik pilsuf adalah membawa nilai dasar filsafat yang tidak terganggu dengan factor factor menggiurkan, apalagi sampai melalaikan hati dan akal sehat. Pilsuf itu tidak meneror pemikiran dengan doktrin-doktrin yang ada. Jika kita di perpustakaan ingat jalan, jika kita dijalan ingat perpustakaan. Keseimbangan antara gagasan dari perpustakaan harus dirasakan oleh masyarakat di jalanan.
Mukhtar Pabboottingi, melanjutkan akan pentingnya kerendah hatian. Filsafat dan Demokrasi sama sama menghendaki kerendah hatian, tidak berusaha mencari kebenaran-kebenaran final. Demokrasi membenarkan system apa yang bagus lima tahun kedepan, bukan membenarkan kebenaran sebagaimana kebanaran itu. Jika kebenaran itu final, maka sama saja membunuh demokrasi dan filsafat. Wisdom tidak mencari kebenaran final, tetapi bagaimana kita saling mencintai dengan baik. Dari dasar ini, perkataan Rocky Gerung dengan diksi kitab suci itu adalah keliru adanya. Karena milyaran orang menganggap kitab suci bukan fiksi. Bangsa ini menghendaki untuk kita menghormati kebudayaan.
Clifort gertz mengatakan tentang kebudayaan yang nyata, dan yang nyata adalah kitab suci itu, kenapa ? karena ada wisdom disitu. Seperti Abu Thalib tidak memeluk islam, bukan karena tidak tahu islam, tapi memikirkan apa yang selama menjadi pegangan kita, harus kita buang semuanya dan akhirnya menjadi chaos, begitupun dengan kejatuhan roma, karena tidak memelihara tradisi sebagai identitasnya. Wisdom harus mampu membuka pikiran untuk mengormati sesama. Lalu dengan independensi pemikiran bukan semata pikiran, tetapi kita bisa berdiri sendiri dengan wisdom itu. Artinya tidak dijajah oleh orang lain.
Terakhir Romo setyo Wibowo menuliskan naskah mengukur kata, kembali ke data. Filsafat dikenal sebagai ibu semua ilmu, orang yang belajar filsafat lantas merasa bisa mengomentari segala hal. Sehingga Socrates dalam gurauan bersama Kritias mengingatkan “HATI-HATI DENGAN CLAIM FILSAFAT SEBAGAI ILMU YANG MAMPU MEMBAHAS SEGALA SESUATU”. Karena dengan kecanggihan kata-kata filosofis yang diungkapkan, ternyata terbukti membicarakan sesuatu yang tidak ilmiah atau sesuatu yang bukan ilmu. Hati hati dengan claim filsafat sebagai ilmu universal yang bisa berujung pada “Omong kosong”. Pesan Socrates, aku tahu bahwa aku tidak tahu, artinya kita mesti tahu diri, harus berhati-hati supaya tidak “Sok Tahu”.
“Platon Adalah Musuh Besar Sofisme, Meski Ia Tak Selalu Menang Atasanya”.
Jakarta, 15 Februari 2019
Comments
Post a Comment