Sarjanawan Alaqidah

SARJANAWAN ADALAH MENJADI MANUSIA YANG ARIF

(Orasi DR. Muhammad Zain. MA)




By: Farham Rahmat

Mahasiswa STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah

Hari kita mengalami tantangan industry 4.0, generasi pertama kita mengenal luap, generasi kedua mesin uap, ketiga adalah era listrik, saat ini, kita generasi keempat mengalami revolusi industri era digital dan menjadi ketergantungan tersendiri. Suatu contoh kecil, jika ada mahasiswa berangkat ke kampus tertinggal dompetnya, dia tidak akan kembali, namun jika ketinggalan handphonenya pasti dia akan kembali, artinya fenomena mahasiswa hari ini connect dengan digital menjadi mahasiswa maha-terconnect, pungkas Rektor STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah jakarta, DR. Muhammad Zain, rabu 20 februari 2019 di Aula perpustakaan nasional salemba.

Begitupun tindak tanduk kita dirumah, saat ingin tidur dengan handphone, ketika bangun tidur cari handphone untuk mengalihkan off menjadi on. Bahkan ada orang yang sakit dengkul, setelah diagnosa dokter  ternyata bukan hipretensi atau penyakit lainnya, namun karena terlalu banyak membaca Whats’app, di mobil, rumah, kereta, masjid, kampus, pasar, hampir semua tempat aktivitasnya baca whats’app. Lebih mengerikan lagi, tamu ada di depan juga kita baca whats’app, dan sedikit memperdulikannya.

Fenomena tersebut menggambarkan penyakit manusia digital, yang sering kita kenal sebagai "disujusment" Yaitu Manusia yang mengalami karakter masa bodoh. Sebab itulah, orang yang dilanda dan hadir di era industry generasi keempat sudah mengalami itu. Ada buku yang berjudul The Village Effect karya Susan pinker, sekarang orang-orang kota merindukan desa, kota jakarta kita akan menemui begitu banyak restoran tempat makan yang berbau desa dan berbumbu desa. Juga ada nama tempat makan “Bebek samping sawah", padahal  tidak ada sawah disampingnya. Kenapa ? karena ada kerinduan kepada desa. Lantas kenapa desa ? karena desa kita temukan kehangatan, artifisial nan alami.

Di desa, waktu makan kita akan mengalami komunikasi kekeluargaan, tidak ada yang sibuk dengan handphone ketika makan. Di jakara ini kita sibuk dengan layar segi empat itu bahkan pada waktu makan dengan keluarga, apalagi kalau hanya teman, sambil senyum-senyum sendiri, tidak memperhatikan anak, ayah, ibu. Hilang kehangatan diskusi, hilang karakter human stage dan seperti itulah fenomena yang terjadi hari ini. Gambaran penyakit manusia digital ini dan semua persoalan yang lahir, akan bagaimana generasi sleanjutnya sepuluh, duapuluh tahun kedepan, alumni wisudawan/wisudawati STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah jawabannya.

Dr. Muhammad zain menegaskan, Alumni STAI al-aqidah harus mampu membangun komunikasi yang hangat di tengah tengah masyarakat. Harus menjadi alumni yang tidak hanya pintar namun juga arif bijaksana.  Begitu banyak orang hebat dan cerdas, namun tidak bijaksana, dan hari ini kita tidak mengharapkan orang pintar, tapi kita mengharapkan orang yang bijaksana. Itulah mengapa terjadi perdebatan public sana-sini.  Terjadi perdebatan medsos yang membludak tak terkendali, karena semua orang bicara. Coba kita perhatikan, dahulu yang berbicara agama hanya kiyai, ulama. Hari ini siapapun bisa berbicara agama, yang penting punya akun medsos. Facebook, whats’app, twitter, instagram semua sama dan tingkatan pun sama.

Ada empat point yang ingin saya sampaikan, Pertama, Seorang antropolog sahabat beliau dari UGM memprediksikan bahwa Indonesia tahun 2045 indonesia akan mengalami disujusmant manusia yang bermasa bodoh. Dahulu di kampung, jika ada orang yang terpeleset di pematang sawah, spontan dengan naluri kemanusiaan berlari untuk mebantunya. Hari ini di kota, jika ada orang yang terpeleset, barangkali kita tidak menolongnya, melainkan menertawakan dulu baru ditolong, itupun kalau ditolong. Dan seperti itulah dampak teknologi generasi keempat yang terjadi hari ini.

Kedua, manusia hari ini mengalami era distrubtion yaitu era gangguan. Dahulu kehidupan pesantren anak anak santri sangat gampang dikontrol, karena tempat ganggu seperti bioskop masih jarang adanya. Bioskop hanya ada satu dalam satu kabupaten, hari ini bioskop sudah ada dirumah kita sendiri. Anak-anak sudah bisa mengakses apapun tanpa batas. Pada saat yang sama, karena komunikasi informasi yang membludak terjadi juga yang disebut dislokasi agama. Di kampung menjelang bulan ramadhan meriah dan kekuatan relegiusnya sangat kental. Semua rajin beribadah, menghidupkan malam dengan sholat tarwih. Sekarang umat muslim menjelang ramadhan, ramadhan dan menjelang idul fitri semua lari ke mall dan pasar.

Ketiga, Lebih bahaya lagi adalah terjadi pergesaran ulama. Ulama juga di distrubsi. Ulama yang sejak kecil belajar sampai tua pun juga digeser posisinya. Itulah mengapa Negara-Negara bagian timur tengah mengalami kekacauan, karena ulama mereka sudah tidak didengarkan lagi. Ulama mereka berkata dan berfatwa, mereka mengambil jalan terbalik. Seperti itulah data dan fakta yang diungkap langsung dari Muftih Syiria waktu bertemu dengan DR. Muhammad Zain. Oleh sebab itu, mari kita mengormati ulama, kiyai, asatidz dan asatidzah di negri kita tercinta. Jika tidak, maka itu akan menjadi bom waktu untuk Negara dan bangsa kita tercinta. Alumni STAI Al-aqidah sudah diajarkan dan mengamalkan bagaimana harus menghormati ulama.

Begitupun dengan orang tua, anak anak sekarang lebih dekat dengan game ketimbang orang tuanya. Ketika ditanya tentang tokoh islam seperti abu bakkar as-shiddiq, umar ibnu khattab, usman bin affan, ali bin abu thalib mereka justru tidak tahu, tetapi ketika mereka ditanya tentang pokemon, mobile legend, superman, avenger, dan sebagainya semua sudah pasti tahu. Realitas menggambarkan telah terjadi pergeseran makna sampai kepada anak-anak juga.

Yang keempat, telah terjadi kerendahan literasi agama. Hari ini orang banyak yang mempelintir ayat ayat Al-Qur’an dari maknanya. Ayat ayatnya difahami secara tidak pas. Ada ayat yang mengurangi istri malah dipakai untuk menambah istri. Seperti  sahabat Nabi Abu bakkar As-Shiddiq sebelum turun ayat ini  memiliki istri Sembilan, setelah turun istrinya tinggal empat. Surah An-Nisa ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Ada juga ayat ayat sosiologis difahami secara teologis. Seperti Q.S. surah Al-Baqarah:120

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu".

Orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan ridho kepada kita sebelum kita ikut kepada millah mereka (budaya dan agama mereka). ayat ini bermuatan sosiologis yang memotret keadaan madinah pada masa awal islam, yang puluhan tahun asset ekonomi dan kekuasaan politik dikuasai oleh anshrani dan yahudi saat itu. Datangnya islam menguasai madinah dengan kecanggihan politik dan ekonominya. Pantaslah secara sosiologis kaum Nashrani dan Yahudi tidak ridho kepada islam. Ayat ini jangan dibacakan di daerah-daerah yang sensitive yang kebanyakan agama tertentu. Orang bisa perang agama gara gara ayat ini.

Ada juga ayat yang bermuatan teologis malah ditafsirkan secara sosiologis, seperti QS. Al-Fath:29

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir”.

Artinya, orang islam tidak boleh ada toleransi apapun. Kita tidak boleh menggadaikan akidah dan prinsip kita. Dan inilah yang harus kita ajarkan kepada generasi kita khususnya mahasiswa yaitu menjadi manusia yang otentik, dan inilah yang kurang di republic ini.  Orang yang tidak menyatu dengan perkataan, hati dan pikirannya, bukan manusia otentik tapi manusia plastic. Kepada mahasiswa Jadilah manusia yang jujur, santun. Mendidik orang untuk menjadi pintar, cukup hanya membaca buku sebanyak-banyaknya. Namun jika ingin menjadi manusia otentik belajarlah kepada guru dan ulama yang benar.

Terakhir, hari ini kita mengalami abad kearifan. Siapa yang memiliki kearifan, dialah sebenarnya the winner pemenang hari ini. Apa itu kearifan ? dr. Muhammad zain mengutip sebuah kisah menarik untuk menjelaskan makna kerifan itu. Suatu ketika ada dua orang santri yang berdebat di pondok pesantren tentang matematika, santri pintar melawan santi bodoh. Santri bodoh bertanya, 3x7 berapa ? santri pintar menjawab 21. Santri bodoh membantah, bukan tapi 28. Akhirnya berdebat, sampai berlarut-larut. Saking yakinnya santri bodoh dia mengatakan: “Pokoknya kalau bukan jawabannya 28, maka penggal kepalaku”. Kemudian santri pintar mengatakan, kalau begitu ayo kita menghadap ke pak kiyai, mengadaplah keduanya.

Tiba disana kedua santri tersebut bertanya permasalahan yang ada, bahwa 3x7 selama ini yang diajarkan pak kiyai adalah 21, tapi santri yang satu akan bunuh diri jika bukan 28. Jawaban pak kiyai adalah: “yang benar adalah 28 nak… bukan 21” setelah itu, marah santri yang pintar ini, membanting kopernya dan pulang dari pondok sembari berkata: “Pondok pesantren apa ini ? sudah mengajarkan kebodohan kepada saya” pak kiyai berkata: “diluar sana banyak masalah dan petir menggelegar, jika kau takut dan ingin berlindung, maka pondok pesantren membuka gerbang selebar-lebarnya untukmu nak…”  ditengah jalan ternyata demikian petir menggelegar dan hujan deras, santri ini takut dan kembali ke pondok, dan pak kiyai sudah berdiri di gerbang untuk menyambutnya kembali.

Pak kiyai berkata: “nak… kamu memang benar, tapi kamu tidak arif, saya harus menjawab 3x7=28, karena kalau tidak, temanmu yang bodoh itu akan bunuh diri gara gara itu”. Itulah kearifan yang harus kita raih. Ambillah hikmah dari manapun asalnya. Di masyarakat akan kita temui kearifan-kearifan yang luar biasa. Sarjana, mengenakan toga, ijazah yang saya tandatangani itu hanyalah symbol untuk mendapatkan kearifan-kearifan itu, tutup pidato DR. Muhammad Zain.



Jakarta, 21 Februari 2019


Comments

Popular posts from this blog

Tips Berbahagia Ala Aristoteles

Hanya Homo Symbolicum yang Memahami USSUL

PESAN SAKTI RANGGAWARSITHA