"BAHAGIA" HARI KETIGAKU DI GUNUNG DEMPO




HARI KETIGA

Hari ketigaku diatas kapal, minggu 5 mei, satu hari sebelum puasa. Tidak banyak kegiatan hari ini, lebih banyak menghabiskan waktu diatas kabin tempat tidur. Perjalanan dari pelabuhan surabaya ke pelabuhan makassar. Penumpang yang ingin turun di makassar terlihat bersemangat dan penuh keyakinan. Setiap menit selalu terdengar pertanyaan. Kapan sandar di makassar ? kapan sandar di makassar ? pertanyaan itu dilontarkan oleh ibu-ibu yang berada di samping kabinku.

Tidak berselang lama, ibu yang disampingnya lagi bertanya dengan pertanyaan yang sama, “Kapan sandar di makassar?”. pertanyaan itu seakan udara yang beterbangan dimana mana. Belum lagi bapak-bapak berada di samping kiriku pun bertanya dengan nada yang sama “Kapan kapal sandar ya ?” lagi-lagi tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Pertanyaan itu hanya bisa kutepis dengan jadwal tiket yang telah terpampan. Berangkat jam 11.00 dari jakarta, dan akan sandar jam 16.00 di pelabuhan makassar.

Hampir seluruh penumpang yang turun di pelabuhan makassar melontarkan pertanyaan yang serupa. Dengan sedikit  cuek pertanyaan itu saya abaikan dan kembali fokus menulis. Masih pada kondisi yang sama, tetangga kabin ribut berbincang tentang jadwal sandar kapal. sehingga dengan penasaran yang kuat, seorang bapak namanya Taqdir Alie mendatangi awak kapal dan bertanya langsung. Hasilnya kemudian diberitahu kepada penumpang lain, informasi itu adalah “Sandar kapal sekitar jam 07 atau jam 08 malam” demikian informasi dari petugas kapal sambil berbaring diatas kabin ranjangnya.

Saya masih menulis, tenggelam dalam kata-kata yang teruntai dalam laptop. Namun kebisingan tentang pertanyaan kapan kapal sandar masih mengganggu. Diselah-selah kebisingan itu, ada anak muda yang justru memberikan keresahan kepada penumpang. Dia memberitakan bahwa “Mesin Kapal Retak” mendengar itu, spontan ibu-ibu pada ribut dan khawatir sambil berkata, “Aduhh... keluarga saya menunggu dirumah, saya masih ingin melihat mereka”.

Rupanya mereka pulang dan pergi makassar ke jakarta, jakarta ke makassar hanya untuk perjuangan sebuah keluarga. Spirit keluarga membuat para perantau bersemangat, didepannya hanya ada masa depan keluarga yang lebih baik. Mereka ingin melihat anaknya sehat dan sukses, banyak usaha, yang orang tua berjuang mati-matian. Sampai rela terkatung-katung diatas luasnya lautan. Pertanyaan kapan sandar kapal di makassar pun tidak diinformasikan oleh petugas kapal di sumber informasi.

Baiklah, biarkan pertanyaan itu dijawab oleh realitas, kita serahkan penuh kepada nahkoda yang maksimal di ruang kemudi. Toh, waktu sandar itu akan tiba dengan sendirinya. Informasi dari awak kapal berdering, namun bukan tanda untuk sandar, melainkan tanda masuknya sholat dzhuhur. Saya membiasakan diri untuk terlambat 10 menit ke mushollah. Ruangan yang sempit tidak mampu menampung penumpang yang hendak sholat. Jama’aah pertama yang hadir pun sempit-menyempit menciptakan pengap dan kegerahan.

Setelah sholat, masih berada di kabin tempat tidur, menulis dan menulis. Jufri hari itu tidak pernah muncul, sehingga menjelang sore saya memutuskan untuk mengunjunginya di dek 2. Bukan hanya untuk berkunjung, namun juga cas hp dan latop lagi. Sebentar lagi kapal akan sandar di makassar, saya butuh persiapan daya baterai untuk komunikasi. Rencananya setelah tiba di makassar, teman saya Mustamin akan menjemput di pelabuhan. Tiba di dek 2, saya dapati Jufri sedang tertidur pulas. Tidak mengganggunya, saya langsung menuju kabin tetangga lantai 2 mengambil tempat, membuka laptop sembari cas hp. Kembali saya tenggelam dalam tulisan.

Menjelang maghrib, Jufri terbangun dan menghampiriku, lalu mengajakku untuk ke dek 7. Diatas adalah tempat menyaksikan panorama laut. Memandangi lautan luas memberikan efek tersendiri dalam jiwa. Pada saat mata memandangi air biru yang beriak itu, saya teringat pesan imam besar masjid istiqlal Prof. Nasaruddin umar. Beliau berpesan bahwa, “Kalian anak santri harusnya memiliki agenda untuk refreshing satu kali dua bulan. Adakalanya kita harus ke pantai untuk menyaksikan birunya laut. Sebab disana hati kita akan tentram dengan kesejukan”

Beberapa menit, kupandangi terus air laut dari atas kapal, lalu pundak ku dielus oleh Jufri dan bertanya “ada apa?” “Tidak ada apa apa" jawabku datar. Setelah itu, saya teringat sesuatu, untuk membuat sebuah kalimat khusus untuk adik terkasih. Sebenarnya awal berangkat kapal dari jakarta, sudah punya rencana untuk membuatnya, namun selalu gagal. Berkali-kali kuperiksa tas dan koper, mencari bolpoin dan selembar kertas, namun tidak kutemui. Beralarut-larut, sehingga sore itu, adalah sore terakhirku, sebab sebentar maghrib kapal berlabuh, kugunakan kesempatan terakhir untuk membuat pesan itu.

Pesan ingin saya tuliskan di hp, kemudian mengedit warna dan bentuk hurufnya. Setelah itu screenshot. Semua sudah siap, ternyata tidak cukup dengan itu saja, harus ada hp lain untuk mengambil photonya. Sementara Jufri tidak pernah membawa hp selama di kapal. ya maklumlah anak pondok. Jadi gimana jufri ? saya bertanya, gimana ya, jufri juga kebinguunan. Ada seorang gadis yang bermain hp disamping, tapi tidak mungkin saya berani meminjam darinya.

Ditengah buntunya jalan keluar itu, salah satu teman Jufri yang juga dari majene bersuku tande itu punya rombongan diatas kapal, salah satu temannya lewat di depan, sepertinya dia juga hendak menikmati panorama riakan laut, namanya Fatin. Spontan Jufri memanggil namanya dan hendak menyuruh untuk mendekat. Setelah itu, Jufri bertanya “Bawa hp kan ?” “Iya, kenapa?’ jawab Fatin, “Ini saya mau photo pesan hp, tapi gak ada hp, saya pinjam ya”, tegas jufri sambil tersenyum.

Proses pengambilan photo pun bisa terlaksana, sejak sekian lama rencana pesan itu ingin disampaikan diatas laut, kepada adek. Bunyinya kira kira seperti ini “Tadi, Laut Berbisik Di Telingaku, Berkata: Ade Yang Terkasih Dapat Salam Dari Laut Jakarta” seperti itu kelebaianku sore itu diatas dek 7 gunung dempo. Melihat itu, ternyata Jufri juga ingin membuatkan pesan untuk adek tercinta, namanya Fitri Maulana, dengan nada dan kalimat yang sama, Jufri mengedit dan melakukan persis apa yang saya perbuat. Ya, photo pesan di hp untuk adek tercintanya.

Hari itu cerah, riakan laut berisik, menjelang maghrib kami balik ke kabin masing masing. Bersiap untuk sholat, meski demikian, tidak kuyakinkan diriku untuk meninggalkan kabin. Jufri belum datang, sementara disampingku kosong. Ada barang berharga di tas. Tidak mungkin bawa-bawa tas kemana-mana. Baiklah kalau begitu, saya memutuskan untuk menunggu tetangga kabin, sepulangnya dari sholat, kini giliranku untuk menghamba kepada Ilahi dengan sujud dan rukuk itu.

Kapal tiba-tiba bergetar, beberapa penumpang melihat kearah jendela ingin tahu ada apa ya. Suara ketukan keras juga terdengar, pak... pak... pak.... rasa peanasaran ingin tahu itu tidak bertahan lama mendiami pikiranku. Langsung teringat, sebelum sandar di tanjung perak surabaya, persis seperti ini kejadiannya. Kapal bergetar  dan suara ketukan keras membuana. Itu adalah pertanda sebentar lagi kapal sandar.

Terlihat beberapa penumpang packing, membereskan barang, mengumpulkan yang tercecer serta merapikan pakaiannya. Terlihat sumbringan di senyum mereka. Sebentar lagi bertemu dengan keluarga dirumah. Berlagak santai, saya malah merebahkan tubuhku di kasur kabin, ingin tidur kembali sebelum berlabuh.

Proses sandarnya kapal lumayan lama, beda dengan pesawat ketika landing hanya butuh waktu menitan saja. Jika tanda sandar kapal itu terasa, maka butuh satu jam lebih untuk labuh sempurna. Lagian juga pasti berdempet-dempetan ketika turun. Lalu berbaring untuk menunggu sempurnanya berlabuh dan memberikan kesempatan puluhan ribu penumpang turun duluan. Berlabuhnya kapal adalah tanda kebahagiaan para penumpang.


Comments

Popular posts from this blog

Tips Berbahagia Ala Aristoteles

Hanya Homo Symbolicum yang Memahami USSUL

PESAN SAKTI RANGGAWARSITHA