"IKHLAS" KISAH HARI KEDUA DI GUNUNG DEMPO
HARI KEDUA
Dini hari terbangun karena suara bergemuruh, bukan suara ombak atau suara angin, tapi suara awak kapal yang mengumumkan waktu sholat subuh akan segera dimulai. Sepintas teringat dengan sang kekasih yang telah pergi selamanya. Dia selalu membangunkanku untuk sholat subuh. Ah... itu hanya masa lalu, walaupun bayangnya masih terpampan jelas, namun semua sudah berakhir. Selamat jalan, semoga tenang di alam sana. Jadwal sholat diatas kapal, tidak seperti biasanya, akibat perjalanan maka ruang dan waktu pun berubah.
Kusegarkan fikiranku, mulai beraktivitas pagi itu. Sabtu, Tanggal 4 mei hari kedua saya di kapal gunung dempo. Ada banyak kisah yang tertoreh dalam tinta, walaupun Setengah hariku lebih banyak kuhabiskan di kabin tempat tidur, membaca buku dan menulis, sesekali menelfon. Hari itu kapal sesuai jadwal akan sandar berlabuh di tanjung perak, kota surabaya. Kabar itu sudah tersebar luas ke telinga para penumpang. Ada yang biasa-biasa saja mendengarnya, ada yang bergegas ada yang sumbringan untuk turun belanja ataupun hanya untuk jalan jalan.
Saya dan Jufri bersiap siap untuk turun. Pengumuman dari awak kapal bahwa, kapal akan bersandar selama 3 jam. Mulai dari jam 11.00 sampai 14.00. tidak lama pengumuman itu mendengung, kami langsung ganti pakaian rapi, serta tidak lupa untuk membawa tiket, sebagai tanda bahwa kami adalah penumpang kapal. seperti kita tahu bahwa banyak penumpang yang berselundup. Tiket dan identitas sangat pentig untuk mencegah penumpang illegal.
Sebelum sampai dek 4, dek keluar dari kapal, kami diswiping oleh petugas dan menanyakan tiket, saat itu saya membawa tiket, sementara Jufri lupa di kantong bajunya, saat ganti pakaian. Kami terpisah, beberapa menit saling mencari, sebab dia sendiri berada di dek 2, saya di dek 5. Saling mencari, dan tidak bertemu. Sementara buruh lalu lalang menghalangi jalan, juga barang bawannya biasa menimpa dan menyerempet. Berkeliling mencari, menerobos lautan manusia yang lalu lalang.
Design kapal besar ini mempunyai lorong yang sangat rumit, itulah yang membuat kami kesusahan untuk mendapatkan tempat yang kami cari. Tidak butuh 30 menit, kami sudah bertemu di dek 4. Kemudian melanjutkan perjalanan ke pasar raya surabaya. Kami mengelilingi gedung besar hanya untuk mencari jalan. Memandangi sekililing, Jufri berbisik “Kayaknya kita salah jalan ini, kok gak ada orang lain yang lewat sini ?” “Tenang aja, pasti ada jalan disana itu” jawabku tenang sambil mempercepat langkah. Meskipun jalan sudah ditemukan, capek sangat terasa, lumayan jalan kaki berkeliling, mengitari gedung besar.
Sampai di suatu tempat, saya teringat kondisi enam tahun lalu, ya, saya pernah ke Jakarta pertama kali naik kapal laut. Sepulangnya dari Jakarta singgah di tanjung perak surabaya untuk membeli beberapa keperluan. Masih segar dalam ingatan letak pohon besar itu, juga beberapa gedung serta jalan-jalannya. Banyak yang tidak berubah. Paling berkesan ketika salah seorang teman HMI dari malunda (perbatasan majene dan mamuju) membeli sesuatu dalam rombongan saat itu.
Baru melihat-lihat barang dan belum membeli bahkan belum menyentuh sama sekali, seorang perempuan paruh baya berbadan sehat, mukanya terlihat segar sedikit berantakan datang menghampiri dengan menggendong anak di sarung, spontan dan lincah mengadahkan tangannya dan berkata “Tolong mas... Sedekahnya.... kasihan untuk makan...” karena kami rombongan tidak ada yang menggubris, akhirnya salah satu diantara kami ditarik, sehingga tidak bisa bergeser dari tempatnya. Sementara rombongan sudah beranjak dari tempat itu. Teman saya masih tertahan karena ditarik, kesannya sangat memaksa untuk dikasih uang.
Dalam hatiku berfikir “Kok sampai begitu cara mintanya ya...?” al-hasil salah satu dari kami menghampiri dan memberikan uang Rp. 1000, cekatan pegangan tangan ibu itu lepas, dan berterima kasih. Selepas kejadian itu, kami semua tertawa terbahak-bahak. Bukan menertawakan ibu itu, tapi menertawakan teman yang ditarik, mukanya pucat, salah tingkah dan ingin melepaskan diri namun tidak bisa. Hahahaha.... tawa rombongan membuana.
Ingatan itulah yang membuatku memberi pesan kepada Jufri. “Hati hati nanti akan ada ibu-ibu yang menggendong anak, minta uang, karakternya tidak sama dengan pengemis di jakarta. Ini akan berbeda, lebih ganas, tekadnya kuat, dan tidak akan menyerah sebelum kamu kasih uang”. Demikian pesanku sedikit berharap dalam hati, semoga tidak kami temui. Belum berselang waktu lama, sudah nampak di depan gerbang ibu-ibu persis cirinya apa yang saya gambarkan kepada Jufri.
Dengan jurus yang sama, ibu itu menghampiri kami, saya berbisik kepada Jufri “Tuh kan... lihat coba lihat”. Untungnya dia tidak menarik, mengikuti saja sampai beberapa langkah sambil mengucapkan mantra yang sama pada umumnya. Tidak terkejar, kami langsung mempercepat langkah. Selamat dari kejaran, di depan ada beberapa penjual , barangnya ditata rapi di pinggir jalan. Ada sepatu, jam tangan, mainan anak-anak dan sebagainya. Kami hendak membeli, namun sebelum itu, kami dihampiri lagi ibu yang sudah saya sebutkan tadi, kali ini menggendong bayi bersama seorang anak perempuan berkisar umur 12 tahun.
Mengejar dan mengejar, bahkan menarik-narik baju, kami merasakan malu saat itu, ditarik-tarik ditengah orang banyak. Kami mengabaikan dan melanjutkan langkah, namun tetap mengejar dan menarik. Dalam pengejarannya, ibu itu selalu berkata “Kasihan mas... untuk makan...”. Sementara anak perempuan yang juga ikut mengejar itu, sangat jelas diteling saya terdengar tertawa riang. Sekaan menikmati dan memberi pesan kepada ibu itu, “Hahahaha... ayo kejar terusss... jangan sampai lepas”
Kami menyerah, karena kasihan bercampur kesal dan malu ditarik-tarik didepan umum. Jufri memberikan uang Rp. 2000 kepada anak perempuan itu, belum selesai meskipun sudah dikasih, namun tetap saja ibu itu tetap meminta untuk jatahnya. Agak geram, saya mulai bicara “Ibu... itu sudah tadi” diantara jejak langkah yang tertatih hati kecil berbisik “Maafkan kami Ya Allah... bukan kami tidak ingin berbagi, namun kami juga dalam perjalanan, masih ada satu pelabuhan lagi. Kami juga butuh untuk bertahan di luasnya lautan, keluarga menanti dengan resah, mencemaskan anaknya di rantau orang” berbisik lirih dalam hati, perasaan kasihan, marah, dan kesal bercampur.
Tidak cukup sampai disitu, saat kami membeli kebutuhan selama di kapal, kami dihampiri lagi ibu-ibu dengan seorang anak kecil, badannya berisi dan sehat, rambut dan pakaiannya tertata rapi. Sebelumnya terlihat berbincang dengan penjual sebelah, sangat riang dan sepertinya tidak ada masalah himpitan ekonomi. Jurusnya sama, menarik lengan baju, tidak akan pergi sebelum diberi uang. Daripada berurusan lama dnegan orang seperti ini, cepat saya memberikan uang, dengan itu agar kelar masalah. Capek saya diganggu-ganggu sementara masih banyak yang berkeliaran.
Kami sudah membeli semua kebutuhan untuk perjalanan kapal selanjtnya. Bergegas kembali ke kapal. Awak kapal mengumumkan untuk membawa tiket serta menyertakan identitas pribadi. Ada ribuan penumpan tambahan dari tanjung perak surabaya. Antrian panjang seperti semut yang berjejer rapi mengangkut barang bawaan. Ditengah para penumpang itu, saya terfokus kepada penumpan yang rombongan.
Sekitar sepuluh orang, perempuan berpakaian hitam-hitam dan berjilbab sampai menutupi hampir seluruh bagian mukanya, yang terlihat adalah penglihatannya saja. Tingginya semampai, namun ada anak kecil lincah berjalan, juga menganakan pakaian yang sama, indah kelihatannya. Sangat feminim.
Disekelilingnya ada beberapa ikhwan yang bergamis, memakai kopiah putih. “Entah mereka mau kemana dan dari mana” tanysaya dalam hati, pensaran. Tapi sudahlah... mereka pasti berdakwah ke suatu daerah, sebagai konstribusi kepada ajaran islam.
Sampailah kami di kapal menuju tempat semula. Kondisi saat ditinggalkan dan didatangi berbeda. Satu hari sebelumnya masih banyak cabin yang kosong, sekarang sudah tidak ada yang kosong, semua terisi. Berdempetan sudah pasti, panas karena aura satu persatu penumpang keluar bertabrakan di udara berkumpul dan membentuk suhu panas. Namun semakin asyik, semakin ribut, semakin banyak cerita dan kenalan baru. Kabinku berada ditengah, dihimpit oleh bapak-bapak dan ibu-ibu. Tidak ada gadis sama sekali, dan saya bersykuru sekali lagi.
Semua penumpang sudah berada diatas kapal masing-masing berkemas merapikan tempat tidurnya. Banyak dari mereka yang menyimpan kopernya diatas tempat tidur, padahal tempat dibawah ranjang luas, bisa muat 3-4 koper besar. Namun entah mengapa lebih banyak memilih tidur dengan barang besarnya. Mungkin karena tsayat kehilangan, dibawah ranjang tidak akan terkontrol, sementara berada di dekat selama tidur selalu dalam penjagaan. Pikirku dalam hati. Makan 3 kali sehari diatas ranjang kabin masing-masing. Bercampur makanan, minuman, barang bawaan kardus, koper , ada juga yang membawa buku, selimut, boneka dan ragam buah buahan, serta masih banyak lagi jenis barang.
Menyambut malam, saya menghabiskan waktu di ranjang cabin menulis dan membaca buku. Sesekali tidur sejenak jika lelah menghampiri. Malam pun tiba, antrian panjang untuk mengambil makanan terjadi lagi untuk keempat kalinya selama berada di kapal. Makan tiga kali sehari ditanggung oleh pihak Pelni, hanya saja syaratnya harus bawa tiket, jika tidak maka pasti tidak akan dapat jatah makan. Passenger coupon berada dibelakang kertas tiket, disebut meal control, dibawahnya ada 8 syarat dan ketentuan yang berlsaya selama tiket dipesan pemberangkatan sampai tujuan.
Makanannya sederhana, kadang lauknya potongan ikan dengan sayur kol, kadang telur rebus, kadang juga tekur dadar, apapun lauknya tetap ada sayur kol atau mie sebagai tambahan lauk.
Para penumpang biasanya tidak puas dengan makanan ala kadarnya dari Pelni, sehingga ada yang menambah dengan sambal terasi, indomie, abon, ikan teri, juga ada pilus garuda dan sebagainya. Menariknya, makanan yang dibagikan itu, sudah disediakan air minum, kadang dalam bentuk gelas, ada juga dalam bentuk botol kecil. Selalu ada tambahan gizi. Setiap pagi hari, penumpang diberi suplemen satu buah susu cokelat beukuran 250 ml. Siang hari, makanan dilengkapi dengan snack biskuit coklat roma, malam harinya dilengkalp dengan juas buah apel. Semua itu adalah produk Pelni sendiri.
Makan malam selesai, saya dan Jufri sepakat untuk jalan-jalan menikmati keindahan kapal. kami duduk di tepi kapal menyaksikan air berdesir, ombak yang terbelah karena terjangan kapal, angin menabrak muka, memberikan rasa dingin dan ketentraman. Sementara malam pekat menyelimuti lautan saat itu. Lantai atas adalah lantai wisata untuk penumpang menyaksikan indahnya alam bebas yang tidak pengap. Angin segar berhembus tanpa membawa jenis aroma apapun. Bersih menyejukkan.
Sementara dikeheningan malam itu, penumpang masih lalu lalang. Disampingku masih ada Jufri yang memandangi seoarang gadis. Saya pun melirik kearah apa yang dilirik olehnya, terlihat Gadis itu seperti gaya parlente. Rambutnya terikat full tidak selembarpun yang terjatuh. Memakai batik bali dengan tinggi yang semampai sambil menghisap sebatang rokok. Jufri selalu memandanginya, hanya perdetik memalingkan wajahnya untuk tidak melirik. “Ada apa sebenarnya” tanysaya dalam hati, “Ahhh sudah ah, bodoh amat”. Kunikmati kembali alunan malam yang terajut dalam untaian angin berhembus.
Masih tetap posisi yang sama, Jufri masih memandangi gadis tersebut tanpa ampun. Baiklah, saya bertanya “Siapa gadis itu ? mengapa kau memandanginya terus ?” Jufri menjawab “Dia teman kamar saya di dek 2. Cabin tempat tidurku berdekatan dengan cabin gadis itu” “Lalu mengapa kau pandangi terus” bertanya sekali lagi sedikit mendesak “Orangnya sedikit centil, dan bising di kamar” tukas jufri. Topic kami mengalami perubahan, semula membahas tentang tata cara penulisan, sekarang sudah membahas seorang gadis, dan saya sudah mulai muak dengan pembahasan itu. Kuajak jufri untuk beranjak ke dek tempat cabinnya berada. Bukan untuk melihat cabin gadis itu, tapi untuk cas hp dan laptop yang dari tadi lowbet setengah mati. Sekedar informasi, bahwa cabin gadis itu bernomor 175.
Setibanya kami disana, saya berkenalan banyak dengan teman rombongan Jufri. Ada 8 orang semua satu almamater dengan Jufri. Namun ada yang menyapa terlebuh dahulu, ada juga yang cuek setengah mati dan menjawab setiap pertanyaanku dengan nada sinis, ada juga yang ramah dan asyik diajak berkomunikasi Namanya Mustajab. Kami saling berbagi informasi tentang pondok pesantren. Kami sama-sama berlatarbelakang santri, jadi topicnya juga tentang pondok.
Tenggelam dalam perbincangan, akhirnya lupa untuk cas hp dan laptop, waktu sudah menujukkan 23.00 masih waktu jakarta, meskipun sudah masuk perairan sulawesi. Bergegas cas laptop dan hp, ada beberapa cabin yang kosong tak berpenghuni. Saya manfaatkan tempat itu untuk cas sambil menulis kembali. Hanya seuntai bait kata yang sudah dirajut dalam word office 2010, saya sudah berkenalan dengan tetangga kabin namanya Bapak Bonda. Ternyata dia orang Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Dia punya saudara di jakarta pemilik villa bogor bukit zaitun. Kami banyak berbicang mulai dari politik, ekonomi sampai keluarga dan bisnis kecil-kecilan. Setelah full cah hp dan laptop, saya beranjak untuk ke dek 5, tempat cabin ku berada. Sempat tersesat lama keliling mencari jalan, akhirnya ketemu dan bisa beristitrahat. Kisah hari keduaku telah selesai.
Comments
Post a Comment