HARI PERTAMA DI GUNUNG DEMPO
HARI PERTAMA
Tidak seperti biasanya, perjalanan ke kampung ku kali ini berbeda dari biasanya. Selama lima tahun berada di jakarta selalu dengan pesawat. Sekitar enam kali pulang kampung mengnedarai pesawat. Mulai dari lion air, citilink, sriwijaya, batik sampai garuda, hampir semua maskapai dalam negri sudah kujajaki.
Hari jum’at 3 mei 2019 waktu menunjukkan pukul 05 dini hari. Bergegas bangkit dari tempat tidur. Bersiap-siap untuk berangkat. Persiapan mulai dari packing barang dan bahan pokok makanan selama perjalanan pun telah sedia. Jadwal berangkat kupandangi di kertas segi empat, orang biasanya menyebutnya ticket, berulang ulang untuk memastikan jadwal keberangkatan. Tetap dan tidak berubah, pukul 11:00 waktu berangkat terpampan jelas.
Pukul 09:00 harus sudah berada disana, untuk menghindari keterlambatan. Namun teman dekat yang akan mengantar malah menunda-nunda, dengan dalil pengalaman, namanya Abdul Qodir, postur tubuhnya tetidak, kurus dan tinggi, rambutnya lurus berantakan dan gampang untuk diatur. Sedikit nada lirih dia berakata “Santai saja lah... parno bangaet sih loh, kayak si Amien Rais, pengalaman engantar orang ke tempat berangkat itu, semua bernasib sama. Jadwal pemberangkatannya selalu ditunuda beberapa jam. Tadinya pagi, eh malah siang berangkatnya, jadi, santai saja lah...” gerutu Abdul qodir, sambil mengenakan baju kaos dan tersenyum aneh.
Meyakinkan diriku, “Semoga saja benar katanya si budu itu” ucapku dalam hati, sambil mengangkat alis, tanda meragukan. Waktu sudah menujukkan 08.00 pagi, rasanya sudah dekat dengan perjalanan. Hati selalu ingin cepat berangkat, namun temanku tetap terlihat santai, bahkan tidur sejenak. Saat ketika terbangun, dia bergegas mandi, terlihat seperti dikejar-kejar setan. Makin aneh dan galau, saya tambah prihatin, jangan sampai terlambat, jangan sampai terlambat. Saya sendiri sudah mandi 06.00 awal pagi untuk antisipasi.
Setelah semuanya sudah siap. Dari pondok pesantren, kuayungkan tanganku keluar dari kamar, sembari melihat dedaunan bergoyang, seakan merasakan juga arti perpisahan. Tidak begitu menghiraukan, langkah kaki semakin melaju saling bergantian maju kedepan. Kupandangi bangunan pondok yang akan beralih warna, dari warna abu-abu menjadi warna coklat. Semakin menambah kegundahanku untuk beranjak. Dan starter motor, mesinpun dinyalakan. Tanda untuk pergi.
Sampai di tanjung priok pelabuhan jakarta, tepat pukul 09:00, artinya masih ada waktu 1 jam setengah untuk persiapan administrasi pemberangkatan, kantor Pelni menjadi tujuan utama. Mencetak tiket kemudian ke pelabuhan sandaran kapal-kapal besar. Suasana yang berbeda, terlihat calon penumpang grasak-grusuk mengurus tiket dan mengangkat barang bawaan. Satu per-satu antri menyerahkan tiket untuk stempel pengesahan dari pihak Pelni.
Ada dua orang perempuan didepanku yang menjadi petugas memeriksa tiket dan memberikan stempel pengesahan, menurutku lumayan cantik untuk kelas pegawai kapal, tidak seindah pramugari-pramugari pewasat. Beberapa waktu berlalu, waktu menjukkan pukul 10:15. Artinya 45 menit lagi kapal berangkat. Salah satu pegawai kapal mengarahkanku untuk naik kapal secepatnya, “Sebentar Lagi Kapalakan Berangkat” katanya. Melaju di tepi air laut, bersama dengan satu koper hitam beroda dua. Dari jauh kapal mulai terlihat, semakin mendekat semakin besar.
Tulisan di dinding kapal jelas terbaca “Gunung Dempo” rupanya itu adalah nama kapalnya. Ada beberapa kapal dengan nama yang berbeda yang berlayar jalur ke pulau bagian timur, termasuk makassar, ambon sampai ke papua. Hanya saja kali ini, kapal gunung dempo adalah teman saksi perjalananku di hamparan laut.
Sementara di sekeliling kapal berjejer dan tersusun rapi barang-barang besar, dikemas dalam besi bentuk segi empat besar. Diangkut menuju penyimpanan barang. Sementara tangga kapal mulai ramai dipenuhi penumpang, satu persatu naik, kini kakinya sudah tidak menyentuh tanah jakarta. Bergelantungan diatas kapal, sebentar lagi akan menginjak tanah surabaya dan makassar.
Terlihat ada bapak security kapal, dia berdiri tetidak disamping tangga, mengawasi penumpang yang naik. Setelah giliranku untuk naik, kusempatkan waktu untuk berbicang tentang perkapalan dan pelayaran. Tidak akan kusebutkan topik percakapan secara detail, namun ingin kusampaikan bahwa bapak itu berkata “Keterlambatan kapal berangkat dari jam 08:00 pagi menjadi 11:00 karena ada acara anak yatim diatas kapal”.
Acara itu dihadiri oleh pihak kementrian kelautan. “Ibu susi pudjiastuti kayaknya ada diatas ini” pikirku dalam hati. Spontan bertanya, ternyata salah. “Ibu tidak ada, beliau diwakili oleh pejabat lainnya, yang juga merupakan pembesar dari pelni” bapak security menjelaskan. Sayangnya saya tidak mengingat nama pembesar Pelni itu siapa. “Nanti kalau sudah launching tiket gratis mudik, baru Ibu susi akan hadir mersemikan” lanjut bapak security. Tanggal 3 mei 2019 hari lagi menuju bulan puasa. Jika sudah pertengahan bulan puasa, biasanya kapal akan sepi. Kapal akan diberangkatkan kebanyakan dari surabaya, karena penumpang dari pelosok sudah banyak yang mudik dan berangkatnya di surabaya tanjung perak.
Selesai berbicang, kini giliranku yang naik kapal. Kaki menyentuh tangga pertama, seolah aku sudah seperti captain jack sparrow di film “Pyrates of caribian”. Sampai diatas kebingunan mencari dek dan cabin (tempat isitirahat penumpang). Bertanya kepada petugas menunjukkan tiket, lalu diarahkan, menuju dek 5 no 372. Lama berkeliling mencari, tidak kujumpai juga. Karena kelelahan, kuputuskan untuk beristirahat, menyandarkan diri di salah satu kabin tempat tidur yang tidak berpenghuni, nomornya 396. Salah satu penumpang lewat dan memberi saran “Udah itu saja, lagian juga kosong kok” “Tidak pak, saya punya no 5372”. Jawabku sedkiti nada membantah.
Saya memperhatikan satu persatu nomor tempat tidur, jumlah angkanya ada 100-120 an keatas. Belok kekiri 120-150 an keatas. Lurus kedepan 200 an keatas, saya kembali ke belakang juga masih kecil angkanya, yaitu 300-400 an. Sementara nomor kabin saya adalah 5372. Keliling sampai lima kali berputar-putar tidak kudapati nomor kabin 1.000 an keatas. Apalagi 5000 an keatas. Sementara nomor saya 5372. “Sepertinya penomoran kapal ini salah deh, atau tiket ini yang keliru?” pikirku dalam hati, nafas tersengal-sengal kecapean keliling cari nomor kabin.
Putus asa aku kembali ke tempat semula nomor 396, dan memutuskan untuk tidak mencari lagi. Sepertinya itu nomor fiktif. Saya bertanya kepada salah satu penumpang penghuni nomor 220, diarahkanlah ke belakang tidak kutemui. “Baiklah, saya disini saja deh”, sambil menggerutu dalam hati. Sesaat kemudian petugas lewat, kemudian memberanikan bertanya lagi, “Ini nomor 5372 tidak ada pak? Jangankan nomor ini, 1000 saja tidak ada. Disini kisaran 100 sampai 500. Tidak sampai seribu. Semntara no saya 5372. Aneh kan pak...
Petugas Pelni itu menarik nafas panjang dan tersenyum, lalu berkata, “De... memang no 5372 itu tidak ada. Nomor adek itu 372. Angka 5 itu bersambung dengan angka kabin 372, jadi kelihatannya 5372. Angka 5 adalah nomor dek (urutan lantai di kapal). jadi, ade sudah betul, berada di dek lima. Nomor ade itu 372”. Saya tertawa terbahak-bahak dan berkata “Ohhh gitu toh... Ya Allah, saya tidak tahu pak”. Kembali saya mendorong-dorong koper lagi untuk keenam kalinya. Berputar ditempat itu saja, dek lima, dek lima, dek lima dan dek lima. Depan belakang lalu lalang hanya untuk mencari nomor fiktif buatan pikiranku.
Akhirnya, sudah kutemukan nomor 372.
Bahagiaku tidak terkira, sebab ingin istirtahat capek sudah keiling, tenaga terkuras, setara dengan lari marathon 50 kilo. Samping nomor 372 ada nomor 373 sudah terisi. Diatasnya ada koper dan kardus. Saya melihat samping ada sepuluh cabin yang kosong. Didepan juga ada sepuluh yang kosong. Sehingga memutuskan untuk tidak menempati 372 itu, saya lebih tertarik dengan no 378. Bukan karena apa, tapi posisinya strategis, samping kanan kosong lima kabin, samping kiri kosang 5 kabin, di depan 10 cabin kosong. Saya tidur ditempat tak berpenghuni layaknya seperti kapal ditengah laut.
Sebelum kapal berangkat, sudah ada beberapa penumpang yang kuajak berkomunikasi. Keunggulan penumpang kapal dari penumpang pesawat adalah silaturahmi dan komunikasi lancar, serta banyak teman kenalan baru dari berabgai daerah. Proses yang lama itu mendatangkan silaturahmi yang mengikat. Pesawat memang cepat tiba, layaknya burung falcon yang terbang diatas rata rata, namun kaku tak banyak kenalan. Selain itu kapal juga memberikan wisata laut ditengah laut, seperti film Titanic, menikmati pemandangan lautan luas terhampar diujung kapal. Merasakan angin menabrak wajah karena juga ditabrak oleh kapal. Namun bedanya, hari itu saya sendiri tidak punya pasangan. Sementara Leonardo D’caprio di film titanic punya pasangan.
Bunyi klakson kapal membuana di angkasa, terdengar di hamparan laut, pertanda kapal sudah mulai berangkat. Bergetar seperti gempa bumi, mesin mulai dilanyalakan perlahan kapal gunung dempo membelah ombak, menerjang lautan melaju diatas permukaan laut. Sepintas aku teringat film “Tenggelamnya Kapal Vander Wijk” dan sebuah novel yang diceritakan oleh Tere Liye dalam judul “Rindu”. Masing masing bercerita tentang kapal, bedanya, film yang dibintangi Zainuddin dan Hayati itu, nama kapalnya adalah “Van Der Wicjk”, sementara Tere Liye bercerita tentang kapal “Blitar holland”. Kisah keduanya terngiang dalam pikiranku. Sungguh tak dapat kuungkap pada tulisan pendek ini. Sialahkan baca buku Rindu Tere Liye dan nonton film tenggelamnya kapal van der wijk.
Setelah berkemas, hendak membaringkan tubuh diatas kasur berwarna hijau, hingga saatnya makan siang pun tertinggal dan tidak dapat jatah makanan. Jatah makan hilang. Sementara persiapan ku hanya membawa pop mie dua bungkus dan indomie dua bungkus serta sambal terasi enam bungkus. Kuseduh satu, untuk mengganjal perut yang kerocongan. Sore itu kuputuskan untuk menulis kisah dari bait-bait ini. Kemudian naik lantai atas menyaksikan luasnya lautan.
Sesaat pendangan tertuju kepada luas lautan, tiba tiba seseorang menghampiri, dia terlihat pendiam, ditangannya ada buku novel yang berjudul “Sakura yang terpilih” karya Setian Furqon Kholid. Dia mendekat namun tak menyapa, sesekali kudapati dia melirik, dan memandangku. Sepertinya dia mengenalku. Ucapku dalam hati. Saya menyapanya “Kamu suka baca novel juga ya ?” “Tidak, cuman bawa aja, ya paling satu bulan 4 novel yang kulahap” jawabnya. Kalau begitu anda pembaca sejati novel, “Saya saja sudah menghabiskan satu saja novel selama hidupku”
Permbincangan hangat terjadi, sampai saat ketika aku bertanya tempat tinggalnya, spontan dia berkata “Saya dari sulaweis barat” “lohhh... satu kampung saya” “di mana di sulbar ?” tanya ku penasaran. Dia menjawab “Di polman”. Lega, akhirnya dapat teman kampung di kapal. satu kampung goa broww... “dimana di polman ?” di wono, jawabnya dengan singkat. Ok, kita satu kampung, beda kecamatan doang. Saya di kecamatan luyo. Lalu akhirnya dia berterus terang “Sebenarnya saya lihat kakak tadi lewat, saya kenal wajah kakak, kita pernah bertemu sebelumnya, maka aku ikuti kakak untuk memastikan.” Bailklah, dia adek kelasku mahasiswa STIE di depok Pondok Pesantren Hidayatullah. Ketemu di makrab malam akrab sandek di bogor.
Aku mengajaknya untuk nalik ke dek masing masing, karena waktu segera masuk sholat maghrib. Setelah sholat, kami ambil makan dan istirahat di dek lima, dek diaman diriku berdiam. Disana masih kosong dan banyak temapt untuk berbincang hangat. Akhirnya au bisa kemana mana tanpa harus bawa tas lagi. Sebelumnya bawa tas kemana-mana, takut kehilangan barang berharga. Kecuali saat pergi mandi, tidak akan kubawa tas itu. Akhirnya kuputuskan utnuk tidak mandi malam itu.
Menjelang tidur lelap, kupandangi tempat tidur yang berjejer rapi, dalam satu rangka bersambung ada 30 an cabin tempat tidur lengkap dengan nomor cabin dan colokan listrik masing masing, sayangnya tidak ada listriknya, jadi percuma ada, hanya perhiasan yang memberi harapan palsu. Setiap sudut dek memiliki satu bauh TV. Colokan TV itulah yang punya muatan listrik. Banyak yang antri untuk cas hp disana. Bahkan ada yang sengaja bawa terminal colokan untuk memperbanyak aliran listrik.
Satu kasur dengan kasur lainnya bertetangga sangat dekat, hanya berjarak 5 cm saja dan tidak ada pembatas, hanya ada celah yang memisahkan .Harap-harap cemas dalam hati semoga besok, tetangga saya orangnya asyik dan friendly atau paling tidak sebaya dan sama-sama mahasiswa, agar diskusi dan berbagi pengalaman lancar. Dan satu lagi, ini yang paling penting, doaku termunajat menjenag tidur, smoga besok penumpang mengisi kasur sebelah bukan perempuan. Saya anak santri, mungkin akan gementaran, bukan katena takut dosa, tapi tidak biasa. Hehehe...
Tidak seperti biasanya, perjalanan ke kampung ku kali ini berbeda dari biasanya. Selama lima tahun berada di jakarta selalu dengan pesawat. Sekitar enam kali pulang kampung mengnedarai pesawat. Mulai dari lion air, citilink, sriwijaya, batik sampai garuda, hampir semua maskapai dalam negri sudah kujajaki.
Hari jum’at 3 mei 2019 waktu menunjukkan pukul 05 dini hari. Bergegas bangkit dari tempat tidur. Bersiap-siap untuk berangkat. Persiapan mulai dari packing barang dan bahan pokok makanan selama perjalanan pun telah sedia. Jadwal berangkat kupandangi di kertas segi empat, orang biasanya menyebutnya ticket, berulang ulang untuk memastikan jadwal keberangkatan. Tetap dan tidak berubah, pukul 11:00 waktu berangkat terpampan jelas.
Pukul 09:00 harus sudah berada disana, untuk menghindari keterlambatan. Namun teman dekat yang akan mengantar malah menunda-nunda, dengan dalil pengalaman, namanya Abdul Qodir, postur tubuhnya tetidak, kurus dan tinggi, rambutnya lurus berantakan dan gampang untuk diatur. Sedikit nada lirih dia berakata “Santai saja lah... parno bangaet sih loh, kayak si Amien Rais, pengalaman engantar orang ke tempat berangkat itu, semua bernasib sama. Jadwal pemberangkatannya selalu ditunuda beberapa jam. Tadinya pagi, eh malah siang berangkatnya, jadi, santai saja lah...” gerutu Abdul qodir, sambil mengenakan baju kaos dan tersenyum aneh.
Meyakinkan diriku, “Semoga saja benar katanya si budu itu” ucapku dalam hati, sambil mengangkat alis, tanda meragukan. Waktu sudah menujukkan 08.00 pagi, rasanya sudah dekat dengan perjalanan. Hati selalu ingin cepat berangkat, namun temanku tetap terlihat santai, bahkan tidur sejenak. Saat ketika terbangun, dia bergegas mandi, terlihat seperti dikejar-kejar setan. Makin aneh dan galau, saya tambah prihatin, jangan sampai terlambat, jangan sampai terlambat. Saya sendiri sudah mandi 06.00 awal pagi untuk antisipasi.
Setelah semuanya sudah siap. Dari pondok pesantren, kuayungkan tanganku keluar dari kamar, sembari melihat dedaunan bergoyang, seakan merasakan juga arti perpisahan. Tidak begitu menghiraukan, langkah kaki semakin melaju saling bergantian maju kedepan. Kupandangi bangunan pondok yang akan beralih warna, dari warna abu-abu menjadi warna coklat. Semakin menambah kegundahanku untuk beranjak. Dan starter motor, mesinpun dinyalakan. Tanda untuk pergi.
Sampai di tanjung priok pelabuhan jakarta, tepat pukul 09:00, artinya masih ada waktu 1 jam setengah untuk persiapan administrasi pemberangkatan, kantor Pelni menjadi tujuan utama. Mencetak tiket kemudian ke pelabuhan sandaran kapal-kapal besar. Suasana yang berbeda, terlihat calon penumpang grasak-grusuk mengurus tiket dan mengangkat barang bawaan. Satu per-satu antri menyerahkan tiket untuk stempel pengesahan dari pihak Pelni.
Ada dua orang perempuan didepanku yang menjadi petugas memeriksa tiket dan memberikan stempel pengesahan, menurutku lumayan cantik untuk kelas pegawai kapal, tidak seindah pramugari-pramugari pewasat. Beberapa waktu berlalu, waktu menjukkan pukul 10:15. Artinya 45 menit lagi kapal berangkat. Salah satu pegawai kapal mengarahkanku untuk naik kapal secepatnya, “Sebentar Lagi Kapalakan Berangkat” katanya. Melaju di tepi air laut, bersama dengan satu koper hitam beroda dua. Dari jauh kapal mulai terlihat, semakin mendekat semakin besar.
Tulisan di dinding kapal jelas terbaca “Gunung Dempo” rupanya itu adalah nama kapalnya. Ada beberapa kapal dengan nama yang berbeda yang berlayar jalur ke pulau bagian timur, termasuk makassar, ambon sampai ke papua. Hanya saja kali ini, kapal gunung dempo adalah teman saksi perjalananku di hamparan laut.
Sementara di sekeliling kapal berjejer dan tersusun rapi barang-barang besar, dikemas dalam besi bentuk segi empat besar. Diangkut menuju penyimpanan barang. Sementara tangga kapal mulai ramai dipenuhi penumpang, satu persatu naik, kini kakinya sudah tidak menyentuh tanah jakarta. Bergelantungan diatas kapal, sebentar lagi akan menginjak tanah surabaya dan makassar.
Terlihat ada bapak security kapal, dia berdiri tetidak disamping tangga, mengawasi penumpang yang naik. Setelah giliranku untuk naik, kusempatkan waktu untuk berbicang tentang perkapalan dan pelayaran. Tidak akan kusebutkan topik percakapan secara detail, namun ingin kusampaikan bahwa bapak itu berkata “Keterlambatan kapal berangkat dari jam 08:00 pagi menjadi 11:00 karena ada acara anak yatim diatas kapal”.
Acara itu dihadiri oleh pihak kementrian kelautan. “Ibu susi pudjiastuti kayaknya ada diatas ini” pikirku dalam hati. Spontan bertanya, ternyata salah. “Ibu tidak ada, beliau diwakili oleh pejabat lainnya, yang juga merupakan pembesar dari pelni” bapak security menjelaskan. Sayangnya saya tidak mengingat nama pembesar Pelni itu siapa. “Nanti kalau sudah launching tiket gratis mudik, baru Ibu susi akan hadir mersemikan” lanjut bapak security. Tanggal 3 mei 2019 hari lagi menuju bulan puasa. Jika sudah pertengahan bulan puasa, biasanya kapal akan sepi. Kapal akan diberangkatkan kebanyakan dari surabaya, karena penumpang dari pelosok sudah banyak yang mudik dan berangkatnya di surabaya tanjung perak.
Selesai berbicang, kini giliranku yang naik kapal. Kaki menyentuh tangga pertama, seolah aku sudah seperti captain jack sparrow di film “Pyrates of caribian”. Sampai diatas kebingunan mencari dek dan cabin (tempat isitirahat penumpang). Bertanya kepada petugas menunjukkan tiket, lalu diarahkan, menuju dek 5 no 372. Lama berkeliling mencari, tidak kujumpai juga. Karena kelelahan, kuputuskan untuk beristirahat, menyandarkan diri di salah satu kabin tempat tidur yang tidak berpenghuni, nomornya 396. Salah satu penumpang lewat dan memberi saran “Udah itu saja, lagian juga kosong kok” “Tidak pak, saya punya no 5372”. Jawabku sedkiti nada membantah.
Saya memperhatikan satu persatu nomor tempat tidur, jumlah angkanya ada 100-120 an keatas. Belok kekiri 120-150 an keatas. Lurus kedepan 200 an keatas, saya kembali ke belakang juga masih kecil angkanya, yaitu 300-400 an. Sementara nomor kabin saya adalah 5372. Keliling sampai lima kali berputar-putar tidak kudapati nomor kabin 1.000 an keatas. Apalagi 5000 an keatas. Sementara nomor saya 5372. “Sepertinya penomoran kapal ini salah deh, atau tiket ini yang keliru?” pikirku dalam hati, nafas tersengal-sengal kecapean keliling cari nomor kabin.
Putus asa aku kembali ke tempat semula nomor 396, dan memutuskan untuk tidak mencari lagi. Sepertinya itu nomor fiktif. Saya bertanya kepada salah satu penumpang penghuni nomor 220, diarahkanlah ke belakang tidak kutemui. “Baiklah, saya disini saja deh”, sambil menggerutu dalam hati. Sesaat kemudian petugas lewat, kemudian memberanikan bertanya lagi, “Ini nomor 5372 tidak ada pak? Jangankan nomor ini, 1000 saja tidak ada. Disini kisaran 100 sampai 500. Tidak sampai seribu. Semntara no saya 5372. Aneh kan pak...
Petugas Pelni itu menarik nafas panjang dan tersenyum, lalu berkata, “De... memang no 5372 itu tidak ada. Nomor adek itu 372. Angka 5 itu bersambung dengan angka kabin 372, jadi kelihatannya 5372. Angka 5 adalah nomor dek (urutan lantai di kapal). jadi, ade sudah betul, berada di dek lima. Nomor ade itu 372”. Saya tertawa terbahak-bahak dan berkata “Ohhh gitu toh... Ya Allah, saya tidak tahu pak”. Kembali saya mendorong-dorong koper lagi untuk keenam kalinya. Berputar ditempat itu saja, dek lima, dek lima, dek lima dan dek lima. Depan belakang lalu lalang hanya untuk mencari nomor fiktif buatan pikiranku.
Akhirnya, sudah kutemukan nomor 372.
Bahagiaku tidak terkira, sebab ingin istirtahat capek sudah keiling, tenaga terkuras, setara dengan lari marathon 50 kilo. Samping nomor 372 ada nomor 373 sudah terisi. Diatasnya ada koper dan kardus. Saya melihat samping ada sepuluh cabin yang kosong. Didepan juga ada sepuluh yang kosong. Sehingga memutuskan untuk tidak menempati 372 itu, saya lebih tertarik dengan no 378. Bukan karena apa, tapi posisinya strategis, samping kanan kosong lima kabin, samping kiri kosang 5 kabin, di depan 10 cabin kosong. Saya tidur ditempat tak berpenghuni layaknya seperti kapal ditengah laut.
Sebelum kapal berangkat, sudah ada beberapa penumpang yang kuajak berkomunikasi. Keunggulan penumpang kapal dari penumpang pesawat adalah silaturahmi dan komunikasi lancar, serta banyak teman kenalan baru dari berabgai daerah. Proses yang lama itu mendatangkan silaturahmi yang mengikat. Pesawat memang cepat tiba, layaknya burung falcon yang terbang diatas rata rata, namun kaku tak banyak kenalan. Selain itu kapal juga memberikan wisata laut ditengah laut, seperti film Titanic, menikmati pemandangan lautan luas terhampar diujung kapal. Merasakan angin menabrak wajah karena juga ditabrak oleh kapal. Namun bedanya, hari itu saya sendiri tidak punya pasangan. Sementara Leonardo D’caprio di film titanic punya pasangan.
Bunyi klakson kapal membuana di angkasa, terdengar di hamparan laut, pertanda kapal sudah mulai berangkat. Bergetar seperti gempa bumi, mesin mulai dilanyalakan perlahan kapal gunung dempo membelah ombak, menerjang lautan melaju diatas permukaan laut. Sepintas aku teringat film “Tenggelamnya Kapal Vander Wijk” dan sebuah novel yang diceritakan oleh Tere Liye dalam judul “Rindu”. Masing masing bercerita tentang kapal, bedanya, film yang dibintangi Zainuddin dan Hayati itu, nama kapalnya adalah “Van Der Wicjk”, sementara Tere Liye bercerita tentang kapal “Blitar holland”. Kisah keduanya terngiang dalam pikiranku. Sungguh tak dapat kuungkap pada tulisan pendek ini. Sialahkan baca buku Rindu Tere Liye dan nonton film tenggelamnya kapal van der wijk.
Setelah berkemas, hendak membaringkan tubuh diatas kasur berwarna hijau, hingga saatnya makan siang pun tertinggal dan tidak dapat jatah makanan. Jatah makan hilang. Sementara persiapan ku hanya membawa pop mie dua bungkus dan indomie dua bungkus serta sambal terasi enam bungkus. Kuseduh satu, untuk mengganjal perut yang kerocongan. Sore itu kuputuskan untuk menulis kisah dari bait-bait ini. Kemudian naik lantai atas menyaksikan luasnya lautan.
Sesaat pendangan tertuju kepada luas lautan, tiba tiba seseorang menghampiri, dia terlihat pendiam, ditangannya ada buku novel yang berjudul “Sakura yang terpilih” karya Setian Furqon Kholid. Dia mendekat namun tak menyapa, sesekali kudapati dia melirik, dan memandangku. Sepertinya dia mengenalku. Ucapku dalam hati. Saya menyapanya “Kamu suka baca novel juga ya ?” “Tidak, cuman bawa aja, ya paling satu bulan 4 novel yang kulahap” jawabnya. Kalau begitu anda pembaca sejati novel, “Saya saja sudah menghabiskan satu saja novel selama hidupku”
Permbincangan hangat terjadi, sampai saat ketika aku bertanya tempat tinggalnya, spontan dia berkata “Saya dari sulaweis barat” “lohhh... satu kampung saya” “di mana di sulbar ?” tanya ku penasaran. Dia menjawab “Di polman”. Lega, akhirnya dapat teman kampung di kapal. satu kampung goa broww... “dimana di polman ?” di wono, jawabnya dengan singkat. Ok, kita satu kampung, beda kecamatan doang. Saya di kecamatan luyo. Lalu akhirnya dia berterus terang “Sebenarnya saya lihat kakak tadi lewat, saya kenal wajah kakak, kita pernah bertemu sebelumnya, maka aku ikuti kakak untuk memastikan.” Bailklah, dia adek kelasku mahasiswa STIE di depok Pondok Pesantren Hidayatullah. Ketemu di makrab malam akrab sandek di bogor.
Aku mengajaknya untuk nalik ke dek masing masing, karena waktu segera masuk sholat maghrib. Setelah sholat, kami ambil makan dan istirahat di dek lima, dek diaman diriku berdiam. Disana masih kosong dan banyak temapt untuk berbincang hangat. Akhirnya au bisa kemana mana tanpa harus bawa tas lagi. Sebelumnya bawa tas kemana-mana, takut kehilangan barang berharga. Kecuali saat pergi mandi, tidak akan kubawa tas itu. Akhirnya kuputuskan utnuk tidak mandi malam itu.
Menjelang tidur lelap, kupandangi tempat tidur yang berjejer rapi, dalam satu rangka bersambung ada 30 an cabin tempat tidur lengkap dengan nomor cabin dan colokan listrik masing masing, sayangnya tidak ada listriknya, jadi percuma ada, hanya perhiasan yang memberi harapan palsu. Setiap sudut dek memiliki satu bauh TV. Colokan TV itulah yang punya muatan listrik. Banyak yang antri untuk cas hp disana. Bahkan ada yang sengaja bawa terminal colokan untuk memperbanyak aliran listrik.
Satu kasur dengan kasur lainnya bertetangga sangat dekat, hanya berjarak 5 cm saja dan tidak ada pembatas, hanya ada celah yang memisahkan .Harap-harap cemas dalam hati semoga besok, tetangga saya orangnya asyik dan friendly atau paling tidak sebaya dan sama-sama mahasiswa, agar diskusi dan berbagi pengalaman lancar. Dan satu lagi, ini yang paling penting, doaku termunajat menjenag tidur, smoga besok penumpang mengisi kasur sebelah bukan perempuan. Saya anak santri, mungkin akan gementaran, bukan katena takut dosa, tapi tidak biasa. Hehehe...
Wowww
ReplyDelete