CINTA MENGEJAR PENDERITAAN BUKAN KEBAHAGIAAN (Daras Sastra Rumi Muhammad Nur Jabir)



Oleh:

Alan

santri Millenial

Ustadz Muhammad nur jabir mendapat kesempatan pertama, memberikan pengantar dengan beberapa ulasan singkat bahwa pengaruh Rumi sungguh sudah mendunia. PBB untuk pendidikan, kebudayaan dan ilmu penegtahuan (UNESCO), menetapkan hari Rumi pada 30 September bertepatan hari peringatan 800 tahun kelahiran filsuf dan pujangga dan dikenal “Tahun Rumi”.

Begitupun Konya Turki, dalam art seminar dan lukisan yang ada terdapat buku rumi, sudah 34 kali diterjemahkan dalam bahasa asing. karya rumi 6 jilid dihargai  12 juta di malaysia. Begitupun dengan Madonna louis ciccone seorang penyanyi, aktris pengusaha asal Amerika Serikat, juga punya Rumi cafe, didalamnya membaca sastra Rumi sambil meneguk wyne.

Abad kedua hijriah, tasawuf di syairkan karya syair “Sawane” oleh ahmad ghazali saudara dari Imam Al-ghazali. Pada abad ini sastra sufi sangat kaya dengan makna. Syair sufi  menggunakan diksi yang tepat, tentunya mewakili makna, seperti syair  Rumi mengalir begitu saja ketika mengalami ekstase mabuk cinta, connect dengan  Allah, sehingga tercipta  40.000 syair dari lidah suci Rumi. Berbeda dengan orang biasa dalam membuat syair, memilah diksi yang tepat dan butuh waktu yang lama.

Perbedaan sastra sufi dengan sastra lainnya adalah penyaksian. Pengalaman sufi dituangkan dalam karya sastra setelah pengalaman. Seorang sufi melahirkan karya setelah mengalami penyaksian, sementara kita hanya meniru sastra dan bersenandung namun sama sekali tidak mengalami. Dalam Syair Rumi, kita akan menemukan sebuah rasa dan maknawiyat, sama seperti vokalis Stephen Covey  dari australia, ingin bunuh diri karena tekanan jiwa, namun setelah membaca sastra rumi langsung menemukan jati diri dan kehidupan baru yang terlepas dari tekanan jiwa.

Ustadz Muhammad Nur Jabir mengangkat satu contoh sastra sufi  “Aku lunglai dengan tahi lalat di bibirmu” karya Bobo Thohir. Sepintas terdengar bukan sastra sufi, Tahi lalat adalah dzat Tuhan. Sehingga lunglai karena tidak mungkin sampai manusia kesana. Sebab Tafakkaru fi’lillah (Renungkan perbuatan Allah), wa la tafakkur bi dzatillah (jangan renungkan dzat Allah). Bibir adalah perjalanan dua manusia, dari atas ke bawah, artinya semua berasal dari allah, makhluk diciptakan oleh Allah sebagai simbol atas, dan bawah ke atas Semua berasal dari dzat tuhan dan kembali kepada-Nya.

Sekarang masuk pembahasan. Semua sufi bicara cinta, mengapa harus bicara cinta ? pertanyaan inilah gambaran dari perjalanan manusia dari atas kebawah, dari Ilahi ke manusia, ada tragedi keterjatuhan dan keterpisahan manusia dengan Tuhannya. Makanya  kisah Nei , kisah seruling dikatakan “Dengarkanlah suling bambu yang sedang melirih atas derita keterpisahannya” hampir semua kita punya derita keterpisahan, namun kita asyik dengan dunia luar, sehingga kita lupa dengan lirih dalam diri kita sendiri.

Kenapa harus seruling (nei) ? kalau ditiup maka dia akan mengeluarkan suara lirih sedih nan indah karena bolong dan kosong. Jika tidak bolong atau ada yang menghalangi maka dia tidak akan berbunyi indah. Begitu juga dengan manusia, karena kosong hawa nafsu, maka keluarlah kata-kata hikmah dari dalam diri. Maka dengarkanlah seruling bambu, makna sufinya adalah manusia harus mengosongkan diri dari semua perbuatan yang mengotori jiwa, kosong dari semua pengaruh duniawi.

Tragedi manusia pertama adalah keterpisahan, namun yang dimaksud bukanlah terpisah dengan pacar kita, melainkan terpisah dengan Allah. Derita keterpisahan dari rumpun bambu digambarakan dalam Al-Qur’an “Alastu Birabbikum, Qolu bala syahidna”, fitrah ini sudah ada, dan hawa nafsu yang membuat kita lupa, dan itulah tragedi. Itu adalah Kisah pertama dalam kitab Matsnawi tentang  Nei seruling dalam syair Rumi.

Kisah kedua adalah raja yang sedang jatuh cinta kepada budak cantik. Suatu ketika Raja sedang berburu di hutan, melihat budak cantik dan jatuh cinta, kemudian dibawa ke istana. Sesampainya di istana, budak cantik ini sakit, lalu raja mengumumkan sayembara untuk mengobati sang kekasih. Namun sayang, tak satupun yang mampu mengobatinya, sehingga raja memutuskan untuk mengadu kepada Allah dan sholat dua rakaat, karena lelah dengan derita, raja pun tertidur, dia mimpi bertemu kakek tua dan berkata “besok, akan datang Tabib rohani untuk menyembuhkannya”. Raja terbangung.

Tabib rohani datang mendiagnosa penyakit gadis budak, ternyata tabib rohani berkata “Penyaktinya bukan penyakit biasa, penyakitnya adalah cinta, dia jatuh cinta kepada zhargar yang ada di samarkand, mereka harus bertemu”. Setelah bertemu, gadis ini belum sembuh total, dia harus menikah dengan Zhargar”. Sementara Raja mengalami tiga derita dalam satu waktu, pertama derita dalam pandangan pertama ketika jatuh cinta, derita kedua adalah ketika kekasih jatuh sakit, dan derita ketiga adalah ketika menyaksikan sang kekasih menikah dengan orang lain.

Tabib mengusap wajah raja, spontan raja berkata kepada kekasih “Aku tidak mencintaimu lagi” karena raja sudah kasyaf, melihat maknwiyat sang gadis budak, ada keindahan yang sangat dibalik keindahannya. Kisah raja adalah gambaran dari sang aku. Raja adalah ruh, tabib rohani akal, perempuan gadis budak adalah nafsu, Zhargar dalah tubuh, tabib pertama adalah egoisme dan keangkuhan kita. Raja jatuh cinta kepada nafs, sementara nafs lebih suka kepada tubuh, karena nafs diciptakan bersamaan dengan tubuh. Kisah ini adalah takwil dalam diri kita.

Untuk terlepas dari tragedi keterpisahan, pertama kita harus tahu jalan kembali, dan jalan satu satunya adalah cinta. Karena hanya cinta mampu mengalahkan cinta yang lain. Cinta bisa difanakan dengan cinta yang lain. Ustadz Nur, tidak menggambarkan sang kekasih yang selingkuh mencari cinta yang lain, sehingga cinta sebelumnya dikalahkan. Lalu, kembali dengan pertanyaan, kenapa harus cinta ? Kitab pertama rumi bait ke-10 berbicara tentang api.  “Api adalah cinta yang jatuh dalam seruling, baranya adalah cinta yang jatuh didalam arak (ballo)”.

Maknanya, bukan api adalah cinta, tapi cinta adalah api. Jika jatuh cinta maka nampak sifat api, dia bergelora dan membara dalam diri. Jika ditiup, maka itu bukan api tapi udara, dan udara menggambarkan ruh, “Wanafakhtu fihim min ruhi”. Ada tiupan Ruh, sehingga membara. Cinta membara karena tiupan ruh, bukan api atau cinta itu sendiri. Ketika ada koneksi antara hati dan ilahi, maka dia (cinta) akan terus membara, tak kan pernah padam.

Bait 1529 sampai 1531 “Karena cinta pahit menjadi manis, karena cinta tembaga menjadi emas, karena cinta sakit menemukan penawarnya, krena kematian menjadi kehidupan, karena cinta raja menjadi hamba”. “Usia yang berlalu tanpa cinta, jangan pernah engkau menghitungnya”. Artinya kaalu kita jatuh cinta, maka usia kita ada pada jatuh cinta itu, selebihnya jangan pernah engkau hitung. “Karena yang menghidupkan kita itu adalah gelora”, dalam perjalanan hidup kita, hal yang paling berkesan yang kita ingat adalah ketika kita dilanda derita cinta. “Cinta selalu perih dalam dahaga, dia selalu mengajarkan dahaga, dan ini saling mencari”. Jika tidak ada kekasih yang saling mencari, maka tidak akan ada yang sampai pada cinta.

Dalam cinta Ilahi, tidak ada cinta bertepuk sebelah tangan, itu terjadi pada cinta manusiawi. Cinta tidak akan pernah salah, karena objeknya terbatas maka cintanya terbatas, objek yang salah bukan cinta, karena objek terbatas maka cinta bertepuk sebelah tangan, dan Ilahi tidak terbatas, dan cinta tidak akan pernah bertepuk sebelah tangan. Makanya yang ditemukan pada cinta manusia adalah kekecewaan. Cinta selalu menggambarkan derita dan terpisah. Cinta biasa kita mengejar kebahagiaan, kalau cinta sufi justru mengejar cinta keterpisahan, penderiataan dan kematian.

Kitab pertama bait ke-30 “segalanya adalah kekasih, cinta bagai tirai kehidupan sejati adalah kekasih dan pencinta mati. Jika ditilik, maka ada tiga eksistensi, yaitu cinta, kekasih dan pencinta, jika ditilik lagi maka hanya ada dua, yaitu kekasih dan pencinta, jika ditilik lagi, maka hanya ada satu eksistensi yaitu “Kekasih” sebab pencinta akan melebur dalam diri kekasih, sementara pencinta akan mati. Pencinta diibaratkan seperti tirai, tirai tidak mempunyai ikhtiar bergerak kanan atau kiri, yang menggerakkan adalah kekasih. Itu bahasa Allah kepada Rasulullah “Wa ma ramaita, walakinnallaha rama” bukan engkau yang melempar Muhammad, tetapi Allah yang melempar.

Itulah mengapa ada tiga maka cinta dalam bahasa arab. Mahabbah, Isyq dan Muhayyamah, semua berbicara cinta. Mahhabbah adalah tautan cinta antara kekasih dan pencinta, namun masih memiliki jarak. Isyq adalah tautan cinta antara pencinta dan kekasih tidak berjarak lagi. Muhayyamah adalah cinta yang melebur, pencinta melebur yang ada hanyalah kekasih. Untuk menyelami makna cinta, tidak ada jalan lain kecuali dengan jatuh cinta, sebab cinta tidak akan bisa ditafsirkan dna dibahasakan, melainkan harus dirasakan.

Kitab pertama Bait 112 mengatakan “ketika aku sampa pada tafsiran cinta, aku malu dengan cinta, meskipun bahasa menjadi penjelas, namun cinta tanpa bahasa lebih jelas, lengkah penah begitu laju dalam melafazhkan cinta, namun saat sampai pada kata cinta, pena pun patah dan terhenti” lalu kita bertanya kepada rumi, cinta itu apa ? rumi menjawab pada kitab ke-3 bait 1723 “cinta adalah lautan ketiadaan, langkah akal terhenti disana”. Coba perhatikan ada kata “laut” dan “ketiadaan”, dua simbol yang menunjukkan ketidakterbatasan langkah akal terhenti.

Ada hubungan dengan bait ke-5 “Cinta adalah lidah api, yang akan membakar segalanya, kecuali kekasih” pertanyaannya, mengapa kekasih tidak terbakar ? karena cinta adalah kekasih, sumber cinta berasal. Selanjutnya ustadz nur mengakhiri dengan mengutuip perkataan Sufi Ibnu Farid abad ke-6 hijriah sezaman dengan Ibnu arabi, beliau bersenandung “Jika engkau bukan apinya, maka jangan biarkan dirimu tenggelam dalam cinta, ketahuilah cinta itu awalnya derita, dan akhirnya adalah kematian”.



Luyo, 1 Juli 2019

Comments

Popular posts from this blog

Tips Berbahagia Ala Aristoteles

Hanya Homo Symbolicum yang Memahami USSUL

PESAN SAKTI RANGGAWARSITHA