FALSAFAH BERKAH KEYAKINAN MASYARAKAT MANDAR



Oleh:

Alan

Santri Milenial

Seperti yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, bahwa ada Tradisi masyarakat mandar mencari perempuan dalam keadaan “battang bungas” artinya hamil pertama yang dialami perempuan setelah menikah. Dipercaya bahwa sentuhan seorang perempuan yang sedang mengalami battang bungas menndatangkan keberuntungan tersendiri ketika menyentuh buaro atau membakar dupa dalam proses pembuatan buaro itu, entah logika dan filsafat apa yang bisa menjelaskan akan hal itu.

Yang menarik, setiap pemberangkatan suami ke tengah laut untuk mencari ikan, sang istri juga melakukan sesuatu di rumah, mandar menyebutnya “mattola’ bala” tolak bala. Bentuk tolak bala yang dianut unik dan jarang kita temukan di kampung lain. Dalam tradisi tolak bala itu, sang istri menyiapkan dua sisir pisang hasil seleksi dari semua sisir pisang yang paling bagus dan berisi. biasanya mereka mencari di pasar ramai atau sengaja pesan dari penjual pisang, itu semua bermaksud untuk mendapatkan pisang berkualitas.

Satu sisir diberikan kepada ulama/annangguru, satu sisirnya lagi disimpan dirumah. Apa maksudnya ?, pisang yang ada di rumah ulama tadi, dan pisang yang ada di rumah sang istri yang melakukan tolak bala sama, dalam hal kualitas, jenis dan waktu ruangnya. Agar pisang yang dimakan ulama/annangguru sama dengan pisang yang akan dimakan juga. Masyarakat mandar sangat mempercayai berkah dan rahmat allah, sehingga melalui ulama yang diyakini dekat kepada allah, bisa kecipratan dan ikut mearasakan berkah dan rahmat kasih sayang allah kepadanya jua, dalam istilah islam ini disebut sebagai “Tawassul” minta penghubung kepada alim ulama.

Harapan masyarakat mandar sering terlihat pada kelakuannya dalam bentuk ussul, serta meraup berkah. Dalam kamus Al-Munawwir, berkah dari bahasa arab “بركة” artinya nikmat. Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia berkah adalah karunia tuhan yang mendatangkan kebaikan kehidupan manusia. Al-qur’an menyebut berkah dalam surah Al-A’raf: 96 “jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman  dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan epada mereka berkah dari langit”.

Dengan demikian berkah mengandung nilai harapan, mengharap nilai kebaikan, perlu digaris bawahi, bahwa Kebaikan adalah sifat kualitas (كيفية) bukan sifat kuantitas (كمية). Berkah sangat identik dengan kualitas meskipun jumlahnya sedikit. Tidak mengejar jumlah banyak, karena banyak belum tentu berkah dan berkualitas. Itulah mengapa orang tua menitip pesan kepada alam ketika lahir sang anak, pesannya kurang lebih seperti ini "Semoga Berkah dan masagena tuo mu dai marendeng kabe" Tidak mengatakan Semoga Kaya raya, sebab jumlah harta yang banyak belum tentu mendatangkan berkah dan keselamatan.

Sementara harapan merupakan keinginan kuat dari dalam diri seseorang yang belum menemukan realisasinya, dan wujud realisasi harapan turun dari langit melalui do’a/ussul. Filsafat islam mengatakan itu dalam pembahasan gerak sebagai potensi, potensi adalah pergumulan dari segala hal-hal yang mungkin, sehingga dalam realisasinya akan berbeda-beda pula. Satu contoh dari pohon, kayunya masih dalam bentuk potensi, bisa menjadi kursi, meja, tongkat, lemari, rumah, bahkan bisa menjadi abu atau lapuk dimakan rayap. Semua bentuk itu bisa menempel pada kayu tersebut, gerak pada kayu, dalam mengalami berubah bentuk dipengaruhi sebab-sebab yang ada, jika ingin menjadi lemari, mesti ada tukan dan alatnya, jika ingin menjadi abu, cukup membutuhkan api untuk membakarnya.

Jadi, harapan itu belum berwujud, dan realitas bermacam-macam akan terjadi nantinya, namun harapan mereka adalah keselamatan dunia akhirat dan menolak seluruh “bala” malapetaka melalui kekuatan berkah. Masyarakat mandar mempercayai bahwa berkah dari “ulama” annangguru adalah sebab alamiah dari keselamatan dunia dan akhirat. Karena secara akibat adalah keselamatan dan kebahagiaan yang berbentuk non fisik secara dzati, maka sudah barang tentu penyebabnya juga harus dari non fisik seperti berkah. Sebab akibat terjadi dalam hubungan berkah ulama dan keselamatan, sementara sebab dan akibat harus harmonis, filsafat islam menyebutkan salah satu syarat hukum kausalitas mesti ada “Sinqiyyah”. Artinya, jika kita mengharapkan akibat non fisik seperti keselamatan, maka harus dengan sebab non fisik juga seperti keberkahan ulama.

Harapan mengandung nilai permohonan, apa itu permohonan ? yaitu sebuah fenomena yang mencakupi hakikat seluruh makhluk. Permohonan dan harapan ada dua bentuk: dalam bentuk lisan dan bentuk laku, semua ini dimohonkan dengan bahasa potensi dan kelayakan. Permohonan dari seorang Pemohon membutuhkan dasar keberadaan dan kesempurnaannya yang berfungsi sebagai alat dan objek permohonan. Jadi dalam permohonan ada perhatian dan kecenderungan kepada sumber eksistensi (tujuan permohonan).

Bahasa filsafatnya adalah permintaan pemohon kepada yang dimohon agar mengabulkan kebutuhan eksistensial dengan memusatkan perhatian kepada-Nya. Perhatian kepada Allah, ada yang secara dzati (hakikat) ada juga hali (kondisional), ada bentuk lahirian ada juga bentuk bathiniah. Masyarakat mandar tahu betul bahwa pemohon adalah rangkaian wujud yang mempunyai entitas mumkin, berdasarkan kefakiran dan kekurangan esensial yang dimilikinya, sementara dia memohon kepada sang pemberi wujud muthlaq. Dengan demikian, muncul seluruh ciri-ciri hamba kekurangan, kefakiran yang menuntut kesempurnaan kepada Maha sempurna. Makanya tidak heran, masyarakat mandar dahulu sangat menonjolkan sifat kekurangan dan kerendahan hati kepada sesama apalagi terhadap ulama.

Ketika seseorang meyakini annangguru/ulama mampu mengantarkan harapan dan permohonan itu, maka disitu ada proses panjang untuk sampai ke meja Allah. Permohonan pertama muncul dalam ruang eksistensi nama dan sifat Allah, maka Allah mengabulkan dalam bentuk pemberian limpahan kepada pancaran paling suci disebut “faidh al-aqdas” pancaran paling suci (Atallean kamenang mapaccin) lalu asma pun terjelma. Setelah permohonan ini, kemudian ada tahapan entitas yang tetap yaitu “A’yan Tsabitah” (anu tatta’) dan shuwar bentuk (tokko) asma Allah.

Manusia berada pada entitas tetap yaitu bentuk universal. Lalu Allah mengabulkan lagi dalam Bentuk “Faidh al-muqaddas” pancaran suci. Sehingga harapan mengalir dari keberkahan ulama naik ke asma Allah, kemudian naik ke faidh muqaddas, seterusnya ke faidh al-aqdas. Artinya, semua harapan dan permohonan terkabul masing-masing pada jajarannya sesuai dengan jenjang gradasi  dari wujud mutlak.
Allahu a’lam…


Luyo, 17 Juli 2019

Comments

Popular posts from this blog

Tips Berbahagia Ala Aristoteles

Hanya Homo Symbolicum yang Memahami USSUL

PESAN SAKTI RANGGAWARSITHA