MEMPERTEGAS IDENTITAS AWAL MULA PERADABAN
Alan
Santri milenial
Mengurai dan mempertegas identitas mesti ada dalam kehidupan. kebangkitan peradaban dimulai dari masyarakatnya, sementara dalam individu bisa dikatakan bermasyarakat jika saling bekerjasama satu sama lain. Sekarang pertanyaannya, apakah kerjasama bisa terjalin tanpa saling kenal mengenal? Setelah itu, apakah sesuatu bisa dikenali jika tidak mempunyai identitas? Sampai disini bisa dikatakan bahwa awal mula peradaban dimulai dari mempertegas identitas agar saling kenal mengenal, bergotong-royong dalam membangun peradaban. Mari kita bicara itu dengan ungkapan indah ayat Al-qur’an.
يَأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقنَٰكُم مِّن ذَكَر وَأُنثَىٰ وَجَعَلنَٰكُم شُعُوباوَقَبَائِل لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكرَمَكُم عِندَ ٱللَّهِ أَتقَىٰكُم إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير١٣
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (Al-hujurat:13)
Manusia secara tabiat berasal dan lahir dari suku dan budaya masing-masing, sehingga demikian budaya dan suku tidak dapat kita pisahkan dalam identitas diri sebagai manusia. Kepribadian dan identitas membentuk ciri khas manusia, sejarah membentuk budaya manusia. Sejatinya budaya juga memiliki karakteristik dan inilah yang membentuk kepribadian dan identitas pada setiap individunya.
Kepribadian dan identitas individu adalah differentia fashl dari yang lainnya. Artinya mengabaikan identitas berarti mengabaikan dirinya sendiri, lebih parah lagi jika mengambil identitas orang lain. Berarti saat itu bukan dirinya lagi, namun diri orang lain yang nampak. Maka ketika seseorang lahir dari budaya meniscayakan terbentuknya identitas dalam dirinya.
Setiap bangsa memiliki cita rasa dan ideology tersendiri seperti sastra, ilmu pengetahuan, agama, etika, local wisdom, dan sebagainya. Ciri khas ini yang akan membentuk kepribadian manusianya secara kolektif kemudian melahirkan suatu jiwa semangat yang mengikat juga sebagai pemersatu.
Agama adalah ideology keimanan sedangkan nasionality adalah identitas kepribadian dari segi jiwa yang sama dari individu yang bernasib sama. Jadi hubungan antara nasionalitas dan agama seperti hubungan antara kepribadian dan iman. Artinya agama ketika menentang rasisme atau hegemoni nasional bukan berarti agama menentang keragaman nasionalitas dalam masyarakat.
Prinsip persamaan hak dalam islam tidak menentang prinsip nasionalitas, justru islam mengakui keberadaan nasionality ini sebagai fakta real tidak terbantahkan lagi secara badihi bahwa ini merupakan bentukan fenomena alam. Sebagaimana ayat mengatakan Wa Khalaknakun Min Dzakari Wa Untsa. Menarik jika dilihat dalam kajian ilmu balaghah (sastra arab) ayat ini menggunakan fi’il madhi (kata kerja lampau) خلق- يخلق artinya telah menciptakan. Sementara jika diperhatikan proses penciptaan selalu terjadi sampai hari ini dan hari yang akan datang.
Namun mengapa Al-qur’an menggunakan kata kerja lampau? Mestinya menggunakan kata kerja sekarang atau yang akan terjadi (present tenses atau present continuous atau present perfect continuos). Ada banyak frasa al-qur’an menggunakan fi’il madhi untuk realitas yang terus terjadi. Ilmu balaghah menjelaskan, bahwa keserasian fi’il madhi dan realitas countinue mengandung makna wilayah takwini yang pasti, tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Ayat ini menjelaskan fenomena alam secara takwini yang tak seorangpun mampu mengubahnya bahkan Nabi pun tidak mampu mengubah ketentuan takwini Allah. Memang kita sebagai manusia hanya berkisar antara laki-laki dan perempuan tidak ada makhluk ketiga selain dari keduanya. Makhluk sebelum lahir, masih berada dalam kandungan tidak bisa berdiskusi dengan Tuhan lalu meminta jenis kelamin diluar dari laki-laki dan perempuan.
Dari dua jenis makhluk tersebut Allah melanjutkan firman-Nya Waja’alnakum syu’uban lalu menjadikannya bersuku dan berbangsa. Waj’alna juga fi’il madi dalam bahasa arab جعل- يجعل artinya telah menjadikan. Masih dalam kaidah yang sama, bahwa suku dan bangsa yang melekat pada seseorang tidak bisa diganggu gugat. Ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa kesukuan dan budaya tidak akan terpisah dengan manusianya, sebab secara dzati hal tersebut telah ditentukan oleh Allah dalam penciptaan manusia.
Contoh kecil, sebelum diciptakan, orang mandar indonesia tidak bisa berdiskusi dan meminta kepada allah untuk lahir di negara eropa, supaya mancung hidung dan putih tinggi besar, atau meminta untuk lahir di afrika yang berkulit hitam. Sebuah keadaan yang telah terjadi dan tidak bisa dipungkiri, bahwa memang kita lahir di bumi indonesia, bersuku mandar adalah hal bersifat takwini, allah yang lebih tahu dan memilih negara apa dan suku apa yang cocok, kemudian selanjutnya menjadi identitasnya.
Lalu bagaimana hubungannya dengan islam? Apakah islam bukan identitas? Seperti yang dikatakan bahwa islam wilayahnya iman, bukan batas wilayah dan kesukuan. Sehingga jika semua muslimin menyeru panggilan ka’bah, maka identitas akan lenyap, sebab yang ada adalah universalitas islam. Lalu jika demikian apakah kita bisa saling mengenal dengan konsep islam universalitas? Tentu tidak, bahwa saya islam tapi saya berasal dari suku mandar, suku bugis, jawa, sunda dan sebagainya. jenis kelamin, suku dan bangsa adalah identitas yang disebutkan oleh al-qur’an agar saling mengenal satu sama lain. Tanpa identitas kita tidak akan pernah saling mengenal.
Itulah logika Al-qur’an, mendahulukan frasa jenis kelamin laki-laki dan perempuan, kemudian suku dan bangsa, untuk apa? Untuk lita’arafu saling mengenal. Namun islam juga membenci ajaran rasisme, menganggap suku dan bangsanya paling hebat dan terbaik, oleh sebab itu, kesukuan dan kebangsaan yang telah menyatu wilayah iman dalam islam dibatasi dengan kalimat “Inna akramakum indallahi atqakum” sungguh paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertaqwa, tidak peduli apa jenis kelaminmu, apa suku dan bangsamu.
Ketaqwaan adalah syarat utama untuk meraih kemuliaan. Dipertegas dengan sabda nabi “wahai sekalian manusia! Tuhanmu satu dan ayah kalian satu. Ingatlah tidak ada kelebihan bagi orang arab atas orang non arab, dan orang non arab atas orang arab, tidak ada kelebihan orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketaqwaan” (Musnad Imam Ahmad)
Ada lima hal yang harus kita perhatikan untuk mencermati ayat ini.
1. Ayat ini menyebutkan jenis kelamin. Dan ini bersifat alamiah. Kemudian kesukuan dan kebangsaan. Juga ini kehendak takwini Allah. Laki-laki dan perempuan membentuk bangsa dan kesukuan yang merupakan bagian dari system alam semesta. Dan kata Lita’arafu adalah alasan pilosofis mengapa kita dicipta bersuku dan berbangsa. Sebab jika kesukuan dan bangsa adalah identitas maka secara pasti akan bisa dikenali, namun jika tidak ada identitas maka mustahil akan dikenali. Suku adalah identitas kita dalam berislam.
2. Agama adalah iman sedangkan nasionality adalah identitas pribadi. Islam datang untuk mempertegas dan mengakui keberadaan nasionality kecuali dalam budaya ada tradisi yang bertentangan dengan ajaran islam seperti ajaran dualitas dan pengudusan api merupakan penyimpangan di berbagai suku, meskipun diakui sebagai produk sejarah dunia. Begitu juga dengan ajaran monoteisme, penolakan menyembah selain Allah bukan dari ajaran islam. dan bukan produk ajaran bangsa arya.
3. Ayat Al-hujurat mengandung makna bahwa semua manusia berasal dari bapak dan ibu yang satu, dalam hal ini tidak ada perbedaan.
4. Frase kalimat Agar kamu saling mengenal, artinya personalitas bangsa harus independen sehingga antar bangsa yang satu dengan yang lainnya bisa dibedakan, maka dari perbedaan inilah membentuk identitas dan meniscayakan kita akan saling mengenal.
5. Terakhir manusia hakikatnya menuju kesempurnaan melalui proses bermasyarakat secara alamiah dan bentuk peradaban yang dimulai dari kebudayaan.
Luyo, 27 juli 2019
Comments
Post a Comment