Hanya Homo Symbolicum yang Memahami USSUL

 


Oleh: Farham Rahmat

Perbedaan antara Manusia dan Binatang dalam persepektif Antropologi terletak pada pengenalan Simbol. Manusia bisa melihat dan membaca simbol, sementara binatang bisa melihat tapi tidak mampu membaca simbol.

Kehidupan manusia tidak terlepas dari dunia simbol. Semakin tinggi peradaban sebuah bangsa, semakin kuat pengenalannya terhadap Simbol. Mulai dari design rumah, pakaian, tradisi, perilaku, tata krama, sampai pada bahasa semua itu adalah simbol.

Bahkan era Digital saat ini juga kita bermain simbol. Kita bisa tahu merek android dengan simbol, buka Hp disuguhkan tampilan aplikasi, itu juga simbol. Buka WhatsApp lalu memainkan jari untuk mengetik itu juga permainan simbol. Emoticon juga simbol, foto, video dan sticker juga simbol.

Orang Mandar pun juga punya simbol yang unik tidak dimiliki oleh suku dan bangsa lain. Para Leluhur membuat sistem nilai pada simbol menjadi tradisi, identitas dan Spirit dalam mengarungi hidup. Sehingga kita mengenal Ussul, Putika, Pamali dan sebagainya, semua itu adalah simbol.

Contoh, ketika Pelaut Mandar hendak menangkap ikan mengarungi samudera, terjadi dialog epik antara nelayan dan lautan, berkomunikasi dengan alam. Apakah alam lagi bersahabat atau tidak? Para nelayan mencelupkan kakinya hingga lutut, dari situ ada respon balik, jawaban apakah waktunya tepat berangkat atau tidak. Orang mandar melaut bukan hanya memenuhi kebutuhan hidupnya, tapi ia juga membangun hubungan dengan alam.

Fenomena-fenomena ini dijelaskan oleh Karen Armstrong dalam bukunya yang baru terbit "Sacred Nature" bagaimana memulihkan keakraban dengan alam dan berakhlak kepada alam. Saat ini banyak bencana alam terjadi, mulai dari Global warming, badai, kekeringan, banjir bandang, gempa bumi, tsunami hingga pemberontakan makhluk terkecil seperti virus pun ikut menyerang Manusia.

Kita juga bisa lihat dalam buku "Collapse" karya Jared Diamond, menyebutkan bahwa ada Lima faktor bisa mempengaruhi kelestarian atau keruntuhan peradaban, salah satunya adalah kerusakan lingkungan. Patung Moai di Pulau paskah dibangun dengan besar berjumlah seribu, namun pohon dibabat habis, sehingga peradaban seketika mati.

Suku Maya di Amerika Tengah menjadi kota mati, terjadi krisis air. Bangsa Viking Amerika Utara juga collapse karena kerusakan lingkungan, bangsa Haiti Dominika runtuh karena tidak mampu mengelola alam pasca gempa bumi. Bangsa Rwanda di Afrika kelaparan karena tidak mampu mengelola tanah dengan baik.

Kemampuan membangun hubungan dengan alam adalah ciri peradaban yang kuat. Praktik-praktik itu sudah dilakukan oleh Leluhur kita, dan sejalan dengan ajaran Agama. Saat Rasulullah berperang, beliau menghimbau kepada para sahabat untuk tidak membunuh makhluk-makhluk lain dan tidak menganggu benda-benda di sekitarnya. Bahkan Rasulullah memberikan nama setiap harta benda yang dimilikinya, seperti Sorban, Unta, Kuda dan pedang beliau.

Perilaku Ekologis manusia terhadap alam dibahas dalam Fiqih Al-Bi'ah. Prof. Ali Yafie mengatakan bahwa merawat dan menjaga alam adalah fardhu ain, kewajiban atas setiap individu. Silahkan merujuk pada Al-Qur'an Al-A'raf:85 dan 56, juga Al-Baqarah:205, semuanya memuat perintah untuk merawat alam.

Coba perhatikan Praktik Fiqih Ibadah dalam Wudhu, selain bersuci, ia juga simbol merawat alam. Anjuran membasuh dan mengusap itu hanya tiga kali, artinya hatta bersuci pun tidak perlu air banyak, itu sebagai bentuk menghargai air dengan penggunaan yang sekedarnya saja.

Pemahaman Agama orang Mandar bercorak sufistik, cenderung menggunakan Zauq epistemologi hati, romantis dalam tingkah lakunya. Sebab mereka faham betul bahwa Agama tidak selamanya dengan Rasio, ada hal-hal diluar nalar. Seperti Rakaat Sholat, gerakan sholat, qashar dan jamaknya, itu tidak bisa dinalar mengapa demikian.

Ada dua Ulama Besar, Ibnu Rusyd dengan Rasionalnya, Imam Al-Ghazali dengan Spritualitasnya. Keduanya menggambarkan Islam pada perspektif berbeda. Begitupun dengan Tradisi dan identitas orang Mandar. Ada yang bisa dinalar adapula metanalar. Perilaku Ussul itu pengalaman spritual orang Mandar, diterjemahkan dalam perilaku dan diteruskan melalui Tradisi.

Namun disayangkan, sebab yang sampai kepada generasi saat ini adalah perilaku yang bersifat tradisi an sich. Kondisi batin para leluhur tidak kita warisi. Sehingga Generasi di era Digital saat ini masih Post Kolonial tapi bergaya milenial. Perilakunya sama, namun spritualnya yang berbeda. 

Padahal Ussul yang berasal dari Spiritual akan membawa nilai yang adaptif kapan dan dimana pun, seperti Air menjadi Identitas orang mandar, dimana pun ia berada ia tetap jernih meski mengikut pola dan bentuk sang wadah.

Wallahu A'lam

____________________

Diilhami dari penuturan Dr. Muhammad Zain, di Seminar MWCF 2023 dengan Tema "USSUL: Identitas, Tradisi dan Spirit Manusia Mandar" Sabtu, 3 Juni 2023 Di Auditorium Prof. Dr. KH Sahabuddin UNASMAN.


Comments

Popular posts from this blog

Tips Berbahagia Ala Aristoteles

PESAN SAKTI RANGGAWARSITHA