MEMAHAMI HADIS TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL (Kajian Ilmiah DR. H. Wajidi Sayadi)
Oleh:
Alan
Santri Millenial
Kitab Kaifa nata’amalu ma’a as-sunnah nabawiyyah karya Yusuf Qordhowi adalah kitab landasan teks pembahasan hadits, bagaimana penerapkan hadits dalam pola kehidupan sehari-hari. Kitab yang membantah karya sebelumnya syekh Imam Muhammad al-Ghazali yang berjudul "As-Sunnatu baina an-nabawiyah ar-raji al-hadits"
Kajian annangguru DR. H. Wajidi Sayadi (Dosen tafsir hadits IAIN Pontianak dan ketua komisi fatwa ulama indonesia MUI Prov. Kalimantan barat), 7 agustus 2019 di ruang Masjid masjid besar at-Taqwa Pambusuang, dalam Forum Santri Assappambusuangan. Dipelopori oleh Habib Ahmad Fadhl al-Mahdaly, dan generasi pemuda pambusuang seperti Ilham Sopu, Subhan saleh, Hamzah, Jamal, Aradhin dan sebagainya.
DR. Wajidi melanjutkan, Kajian hadits sangat urgen dalam agama, sebab disini banyak terjadi ikhtilaf al-ulama. Dikutip dalam kitab Wahbah al-zuhaili berjudul "al-Fiqhu wa adillatuhu", ada 6 alasan perebedaan ulama. Pertama, Ikhtilaful ma’ani al-fazh al-arhobiyyah artinya perbedaan makna dalam lafazh-lafazh arab. Dari sinilah terjadi perbedaan dalam menangkap makna. Kedua, ikhtilaf al-mashodir artinya perbedaan dari segi sumber yang digunakan oleh para ulama. Ketiga Ikhtilaf al-qowaid al-ushuliyyah artinya perbedaan dalam bentuk pokok ushul sehingga berbeda dalam istinbath hukum.
Keempat, Ikhtilaf al-qiyas, ada beberapa ulama yang menggunakan qiyas ada yang tidak sehingga terjadi perbedaan. Kelima adalah Ta’arudh at-tarjih baina al-adillatih, maksudnya menyikapi dalil yanga da terkadang ada yang saling bertolakbelakang, sehingga terjadi perebedaan. Yang terakhir adalah Ikhtilaf al-riwayah, pembahasan hadits ada pada point terakhir. Banyak ulama-ulama yang menggunakan hadits saling bertentangan satu sama lain. Itulah yang akan kita kaji dalam tulisan ini.
Dalam kajian hadits, selalu kita memperhatikan 2 variabel, pertama, asababul wurud hadits, ini berkaitan dengan riwayat dan sanad periwayat. Kedua, tentang dilalah atau matan, bahasa indonesianya isi teksnya hadits. Wurud sangat penting dalam pemabahasan hadits, sebab disitu ada sanad, salah satu penyebab hadits ada yang lemah, shohih, hasan karena persoalan sanad. Hadits-hadits yang kita sampai hari ini dan kita baca dan kita gunakan adalah hadits yang ditulis oleh ulama belakangan. Bahkan Lebih parah kalau hadits kita dapatkan dari fecebook, whats’app dan sebagainya.
Satu contoh periwayat hadits paling masyhur adalah Imam Bukhari. Imam bukhari dan masa Rasulullah berjarak 184 tahun. Jarak ini setelah wafat Rasulullah 184 tahun kemudian Imam bukhari lahir. Secara logika itu mustahil imam bukhari menerima hadits dari Rasulullah. Makanya Imam bukhari dalam penukilan hadits selalu mengatakan haddatsana... haddatsana... diberikan hadits kepadaku dari guruku dari gurunya dari gurunya sampai Rasulullah, tidak langsung mengakatakan kama qola Rasulullah.
Sehingga ibnu mubarak mengatakan “al-Isnad min al-Islam, fa’khudzu” sanad adalah bagian dari islam maka ambillah. Segala ilmu yang kita pelajari harus jelas sumbernya sebagai legalitas pengetahuan sampai kepada junjungan Rasulullah.
Kekuatan ilmu ulama kita adalah keberkahan, sedikit kitab yang dibaca namun berkah pengetahuannya karena jelas bersambung ke Rasulullah secara sanad keilmuan.
Hari ini, hampir semua buku kita baca, tapi keberkahannya tidak dapat, sehingga ilmunya ngambang tidak berfaedah. Kedua tentang matan atau isi hadits. Ada beberapa hadits yang shahih namun secara teks disalahfahami dan menimbulkan akibat yang tidak baik itu juga masalah. Hanya memahami teks hadits apakah shohih atau tidak tanpa memperhatikan konteks bisa berbahaya. Dari sinilah hadits secata tekstual dan kontekstual.
Hadits yang berkenaan dengan ibadah mahdhah, umumnya para ulama menggunakan tanpa kontekstualitas, kita tidak bisa mengkontekskan bagian bagian sholat, sebab itu secara mutlak tidak bisa dirubah. Begitupun dengan ibadah-ibadah yang lain. Kenapa? Karena nabi mengeluarkan hadits itu secara hukum mutlak bersifat ta’abbudi yang ditaati tidak bersifat ta’aqquli tanpa berfikir. Sehingga ada hadits yang lahir dari konteks lingkungan, keadaan, sosiologis, psikologis penerima hadits, pada saat Nabi berbicara, islam mengenlanya dengan istilah asbabul wurud.
Paling banyak kita ketahui hadits dari sesi dialog rasulullah dengan para sahabat. Terkadang memperhatikan asbabul wurudnya ketimbang matan sebuah hadits. Satu contoh hadits riwayat imam abu dawud “laisa minal birri assiyamu bi as-safar” bukanlah bagian dari kebaikan orang berpuasa bagi yang melakukan perjalanan. Secara teks lahiriah, ini mengandung pemahaman bahwa yang melakukan perjalanan sudah terbebas dari kewajiban puasa.
Banyak yang mengatasnamakan hadits ini untuk memnggugurkan kewajiban puasa. Padahal asbabul wurud hadits ini ketika sahabat berkumpul mengerumuni salah seorang yang menunaikan ibadah haji, nabi bertanya “kenapa anda ribut berkumpul?” sahabat menjawab “ini rasul, ada orang yang pingsang karena memaksa dirinya untuk puasa”. Sehingga rasulullah memberikan keringanan bagi mereka yang melakukan perjalanan.
Ada satu hadits shohih lagi, berbunyi “al-immatu min al-quraish” secara teks bahwa yang layak menjadi pemimpin adalah dari kaum quraish pada zaman Rasulullah. Jika demikian, maka Rasulullah bisa terpengaruh tendensi nepotisme menjadikan suku dan keluarganya pemimpin sebagaimana kritikan orientalis barat. Maka para ulama dan sejarawan muslim menjelaskan hadits ini secara lontekstual, hadits ini berkenaan dnegan kekuatan quraish yang hebat, paling sukses ekonomi, paling sukses politik, sebagaimana fathul makkah, peperangan dan penaklukkan tanpa ada tetesan darah.
Begitupun dengan peletakkan hajar awsad yang adil, begitu juga perlawanan terhadap abrahah dan pasukannya menghancurkan ka’bah dibawah pimpinan abdul muthalib.
Artinya kaum quraish yang dimaksud adalah luluhur nabi muhammad dan sukses luar biasa. Dari smenagat inilah melahirkan hadits pemimpin harus dari kaum quraish. Ibnu khaldun menjelaskan dalam kitab muqaddimahnya bahwa pemimpin siapapun dia, harus mempunyai kemampuan managerial seperti quraish, punya kekuatan politik seperti kaum quraish, punya ekonomi sejahtera seperti quraish, serta keadilan sosial seperti diterapkan kaum quraish.
Satu lagi hadits riwayat imam bukhari dari sayyidina ali bin abi thalib, rasulullah mengatakan “man baddal allazhina imanahu, faqtuluhu” siapa mengganti imannya dengan sesuatu yang lain, maka bunuhlah dia. Jika dimaknai secara tekstual maka kita akan saling membunuh satu sama lain. Coba perhatikan asababul wurudnya. Konteks hadits ini murni secara politis. Dalam kitab "La ikraha fi ad-din" menjelaskan beberapa hadits yang berkaitan dengan akidah, salah satunya adalah hadits ini. Dikatakan bahwa Rasulullah mengeuarkan hadits karena ada non islam masuk islam, kemudian kembali ke agamanya dulu untuk membangun kekuatan menyerang islam.
Merusak agama islam dari dalam, mempengaruhi para sahabat untuk memberontak kepada Rasulullah. Selain pemimpin agama, rasulullah juga menjadi pemimpin negara, sehingga jika terjadi chaos, kerusakan tatanan pemerintahan dan sosial kemasayarakatan maka itu harus ditangani rasulullah sebagai kepala pemerintah. Selama 53 tahun di makkah dibawah pemerntahan Rasulullah belum pernah terjadi peperangan.
Nanti peperangan itu terjadi ketika hijrah ke madinah, karena disana sudah beragam dan banyak pola pemerintahan negara-negara.
Jadi, hadits ini tidak konteks diterapkan di indonesia, karena rasulullah menggunakan hadits ini dalam situasi politik. Mencounter gerakan yang merusak tananan sosial dan pemerintahan. Ada juga hadits “barangsiapa yang tidak sholat maka dia masuk neraka”, bagaimana menjelaskan hadits ini secara konteks keindonesiaan? Akan saya lanjutkan pada tulisan berikutnya.
Luyo, 8 Agustus 2019
Comments
Post a Comment