MEMAHAMI HADITS TEKS DAN KONTEKSTUAL PART II
Oleh:
Alan
Masih dalam pembahasan seputar kajian hadis tekstual dan kontekstual. DR Wajidi melanjutkan, ada hadits shahih mengatakan inna tarqa as-sholah finnar “barangsiapa yang tidak sholat, maka dia masuk neraka” Asbabul wurud hadits ini, suatu ketika ada yang mengatasnamakan pemerintah ke masyarakat untuk sholat, namun dia sendiri yang tidak sholat. Artinya orang tersebut diancam dengan nada hadits seperti itu. Jadi, Memahami hadits harus beriringan dengan sanad dan matannya.
Cara memahami hadits, pertama memehami hadits dengan mempertimbangkan dengan hadits yang lain “muqaranah baina hadtis wahid bilwahid”. Jika ada hadits satu, sebelum sampai pada kesimpulan maka harus membandingkan hadits yan lain secara tematik. Ulama masyhur minimal 500 hadits tematik yang dihafal. Jika dia ulama fiqih, maka harus menekuni hadits hkum syariat, agar kaya perbandingan dan pengetahuan, tidak sembarang dalam mengeluarkan hukum.
Satu contoh menarik dalam perilaku syariat sehari hari kita tentang sholat witir. Sholat witir harus ganjil, namun ada yang langsung menempuh rakaat tiga langsung, ada juga dua rakaat, selebihnya satu rakaat. Mana yang sah dan legal secara syariat? ada yubhat ijtihad baru, Jika dua rakaat dulu baru satu rakaat lagi, maka itu bukan witir, karena didalamnya ada 2 rakaat, dan itu genap tidak ganjil. Lalu ditambah dengan satu rakaat lagi yang bukan bagian dari dua rakaaat sebelumnya.
Ada juga yang berargumentasi bahwa witir itu maksimal 11 rakaat dan minimal 1 rakaat, yang penting berjumlah ganjil, apakah 1,3,5,7,9 dan 11. Namun dalam hadits tidak ditemukan penjelasan kapan memberi salam dalam potongan rakaat-rakaat itu, apakah satu-satu rakaat, atau dua-dua rakaat atau tiga-tiga rakaat dan seterusnya? Namun, ada hadits yang lain menjelaskan “sholat al-laili matsna-matsna” sholat dimalam hari itu dua-dua rakaat. Mazhab Imam syafi’I cenderung menerapkan dua-dua rakaat ditutup satu rakaat. Perbedaan ini tidak terlepas dari perbedaan pandangan tentang hadits riwayat.
Kedua, memahami hadits dengan mengkaji asbabul wurudnya, sudah dijeaskan pada tulisan sebelumnya. Ketiga, ta’arudh hadits, artinya Hadits yang berkontradiksi. Kita memperhatikan mana yang sifatnya tetap, mana yang berubah ubah. Syekh Yusuf Qordhowi menjelaskan tentang siwak, ada hadits mutawatir tentang siwak, sebab seluruh hidupnya menggunakan siwak bahkan pada saat saat wafatnya. Namun siwak digantikan oleh pepsodent dan sikat gigi hari ini. Pertanyaanya adalah apakah siwak sarana atau tujuan ? jawabannya adalah sarana, bukan tujuan. Jadi, siwak boleh berubah yang penting membersihkan gigi. Siwak orang tau kita dulu pake sapu tangan dan jenis kain lainnya.
Sama dengan halnya baju, dan itu adalah sarana bukan tujuan, sehingga bias berubah. Begitu juga dengan obat, dulu belum ada bodrex, sekarang sudah ada, bahkan ada suntik dan sebagainya. Begitu juga dengan senjata perang, Nabi pake tombak, sekarang pake senjata dan bom. Problem membedakan antara sarana dan tujuan bukan perkara yang gampang. Sebab ada hadits yang susah untuk difahami apalagi dideteksi sarana atau tujuannya.
Ini hanya kaidah untuk memhamai hadits. Sama seperti Rasulullah mengajarkan garis kaidah diatas tanah kepada para sahabatnya. Ada garis persegi empat, ada garis keluar, lalu garis arsir dan kita ada didalamnya. Segi empat adalah kematian, karena kita ada didalamnya. Garis yang keluar itu artinya angan-angan, mengharapkan sesautu diluar dari realitas, ada juga garis berarsir artinya tantangan. Sekarang mengajar pake power point hp dan teknoogi lainnya.
Contoh zakat, salah satu mazhab syafii mengatakan masuk kategori ta’abbudi, seentara ada yang mengatakan ta’aquli. Perbedaan ada pada tujuan, Abu Hanifah adalah mencukupkan kebutuhan orang miskin denga cara zakat apakah degan makanan atau uang. Jadi tergantung apa yang ada di daerahnya. Jika uang banyak, cukup dengan transfer saja. Begitu juga dnegan cara makan Rasulullah 3 jari, kita tidak bias karena makan sayur, tidak makan kurma.
Selanjutnya, makna hakiki dan majazi. Seperti Rasulullah bersabda kepada istri-istrinya “diantara yang paling lcepat meninggal adalah kalian yang paling panjang tangannya” sehingga istri rasulullah saling mengukur tangannya dan rasul pun tertawa. Kenapa ? karena panjang tangan adalah makna majazi bukan hakiki. Yang dimaksud Rasul adalah yang paling sukua bersedekah. Maka diantara istri Rasul itu adalah Zainab.
Begitu juga dengan menyentuh setelah wudhu. Kata menyentuh, jika digunakan daam pemaknaan tidak boleh berjabat tangan dengan orang maka itu tidak tepat, karena hadits ini mengarah pada makna majazi bukan hakiki, artinya tidak boleh berzina atau bersenggama.
Ada juga hadits Nabi sahih mengatakan “allahumma ahyini miskinan, wa’afitni miskinan, wa inni zumratil masakin” ya Allah hidupkan aku dalam keadaan miskin, matikan aku dalam keadaan miskin dan kumpulkan aku dengan orang orang miskin. Sementara ada riwayat abu dawud mengatakan bahwa Nabi berdo’a “Allahumma inni a’udzu bika masakin” ya Alla aku berlindung kepadamu dari kemiskinan. Secara zhohir itu bertentangan. Miskin yang diamksud hadits pertama adalah rendah hati, lawan dari takabbur.
Luyo. 20 Agustus 2019
Comments
Post a Comment