TUHAN, MENGAPA DIA BERBEDA?
"Tuhan Mengapa dia berbeda?" Itu bisikan di hatiku, terlintas pertama kali saat melihat salah satu anak yang mengungsi dari desa Salutahongan Kec. Malunda. Disaat temannya bermain begitu riang. Saling ejek, joget-joget dengar music, Agung hanya terdiam kaku, sesekali menggerakkan kakinya karena melihat temannya goyang-goyang.
Moment paling mengharukan saat petang menjelang, tiba waktu maghrib. Semua anak-anak pengungsi berlomba masuk mushollah yang hanya beralaskan terpal, juga beratap terpal. Seperti ombak yang kejar-kejaran, mereka begitu tangkas mengambil Buku Iqra' sesuai dengan warna jilid masing masing. Beberapa anak mengambil Al-Qur'an sebagai tanda sudah menyelesaikan enam jilid buku Iqra'
Mereka disiplin tapi lumayan bar-bar, menarik-narik baju lah, memanjat betis lah, merangkul pinggang, ada juga yang menjambak rambut dan merampas handphone di tangan. "Aduhh... Kegantenganku seketika menurun ini, tapi gak apa apa lah, demi kalian adek-adekku" bisikku dalam hati sambil duduk bersilah siap untuk mengajar.
Mereka membagi kelompok, jilid 1 sampai 2, jilid 3 sampai 4, saya sendiri mengajari kelompok jilid 5 dan 6. Agung tidak tahu jilid berapa, namun suka bergabung ke kelompok jilid 6. Saat-saat menyedihkan disaat semua sudah selesai mengaji dengan urutan Hompimpon dan gunting batu kertas. Tinggal dia seorang, ngotot juga ingin mengaji dengan membawa iqra dibawah ketiaknya, sementara dia berbeda. Ditengah-tengah kondisi dimana dia tidak dapat bicara (Tunawicara) dan tidak bisa mendengar (Tunarungu)
Tidak terasa menetes air mata menyaksikan fenomena takdir itu. Agung berusaha untuk mengaji, melafalkan apa yang dia lihat, tidak peduli itu jilid 1 atau jilid 6. Usaha kerasnya mulai terlihat ketika mengangkat suaranya semakin keras. Semua temannya menengok dan tertawa melihat Agung. Tak satupun lafal yang dia bunyikan benar. Tapi saya pun juga tidak menyalahkannya. Semua huruf dan semua kalimat hanya berbunyi "iiiiiiii dan iiiii" yang keluar dari suaranya. Ketika semua teman-temannya tertawa, Agung malah membalasnya dengan Senyuman.
Mengapa dia berbeda Tuhan? Pertanyaan ini mendorongku untuk membuat tulisan ini di posko pengungsian. Apakah ini bentuk keadilan-Mu terhadap setiap individu? Lantas mengapa dia berbeda? Bukankah Engkau telah memberikan epistemologi (instrumen pengetahuan) kepada manusia sesuai janji-Mu dalam Qur'an?
Allah sudah memberikan indra sewaktu kita lahir. Itu ada dalam QS. An-Nahl 78.
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur"
Diantara semua indra, penglihatan dan pendengaran yang paling berpengaruh. Peraba, perasa, dan penciuman menghasilkan pengetahuan yang sempit. Ibnu Sina meneliti bahwa kata kata yang berhubungan dengan penglihatan dan pendengaran sangat banyak ketimbang yang lain.
Perantara penglihatan dan pendengaran mengantar manusia untuk menjalankan sisi rasionalitas. Makanya Tuhan menggunakan kata hati "Lubb" dan "hijr" dengan hati seseorang bisa menimbang dengan matang antara kebaikan dan keburukan.
As-Shad:28 yang membandingkan antara orang beriman mengerjakan amal saleh dan orang yang berbuat kerusakan di bumi. Atau orang bertaqwa dengan orang berbuat maksiat. Lalu Az-zumar: 9 membandingkan antara yang mengetahui dan tidak mengetahui?
Sementara arti syukur adalah dia yang mampu menghargai instrumen pengetahuan yang dimilikinya, adalah dia yang menggunakan epistemologinya ke jalan-jalan taqwa, bukan berbuat kerusakan. Lalu bagaimana Agung bisa bersyukur dengan kehilangan dua epistemologinya?
Mari simak makna ayat An-Nahl: 78 ini mengatakan bahwa Allah sudah menetapkan jalur dan menggerakkan kita kesana. Sistem Ilahi serta kehendak tuhan dan berbagai kehendak-Nya. Jalur itu disebut sebagai epistemologi sumber pengetahuan, pemanfaatan juga menjadi penilaian sendiri.
Imam Al-Ghazali mengajarkan kita bahwa meskipun ada beberapa Makhluk-Nya yang diberikan indra tidak sempurna, hilang indra penglihatannya, pendengarannya dan sebagainya. Kita mesti tetap Husnuzan Pada Tuhan. Meyakini segala sesuatu yang sudah terjadi itu sudah menjadi ketetapannya juga kan.
Alasan logikanya begini, Kita hidup dalam dunia yang begitu praktis, banyak aktivitas yang membuat sibuk. Urusan duniawi bersiliweran, bahkan hampir lupa dengan urusan ukhrawi saking sibuknya itu. Alangkah beratnya jika setiap sesuatu atau pekerjaan yang ingin kita lakukan harus ditunda karena rasa skeptisisme (Faham Keraguan dan kecurigaan dalam segala hal) menggerogoti.
Mau masuk wc ragu apakah ada najis atau tidak, mau belajar, ragu apakah berkah atau tidak, mau tidur, ragu apakah besok akan bangung lagi atau tidak? Akhirnya ritme kehidupan tidak syahdu, setiap apa yang kita harus kerjakan selalu didahului keraguan. Tentu secara psikologis akan tertekan, bagaimana tidak? Target dimana, keraguan dimana?
Ulil Abshar Abdalla mengajukan sebuah contoh sederhana. Saat kita naik pesawat, kalau tidak percaya kepada pilot Sepenuhnya, maka kita akan ribet sendiri. Semua keraguan datang, benarkah pilot membawa ke tujuan yang benar? Apakah pilot sudah terlatih atau baru coba-coba? Tanya pramugari sana sini. Tanya petugas bandara, bukannya akan terbang, tapi malah akan diamankan petugas karena sudah buat kacau suasana.
Baiklah, ada sesuatu dimana kita harus mendahulukan kecurigaan, tapi tidak benar jika ditetapkan ke semua hal-hal praktis. Jadi, harus gimana? Realisme Pragmatis adalah solusinya. Kepercayaan Total kepada orang yang sudah diberikan amanah untuk melakukannya. Meskipun nanti akan meleset, tapi itu hanya masalah khusus, seperti baru baru terjadi Pesawat Sriwijaya J128 jatuh. Sudah ribuan juta kali penerbangan tapi hanya beberapa yang tidak sampai tujuan akhir. Memang tidak ada jaminan, kepercayaan hidup katakanlah berkisar 91% dan 9% nya itu diluar kendali manusia.
Meskipun demikian, setidaknya kita bisa hidup normal dan merasakan ketenangan. Ini juga adalah perintah Tuhan untuk selalu berhusnuzhan kepada-Nya. Setiap bentuk penciptaan mempunyai tujuan besar didalamnya. Kita meyakini bahwa semua yang terjadi sudah menjadi ilmu dan ketetapan Allah.
Pernyataan yang menyalahkan Tuhan terjadi karena makhluk diambang batas kemampuannya menanggung cobaan. Seakan-akan ia merasa ditinggalkan oleh Tuhan.
Keadaan menyalahkan Tuhan ini kerap terjadi pada muslim yang lama menderita, menatap masa depan yang buram seperti di Rohingnya, Syiria, Palestina bahkan bisa terjadi pada saudara kita yang sedang mengungsi akibat gempa Bumi.
Pilihannya dua, apakah buruk sangka atau baik sangka kepada Tuhan. Bukan masalah Tuhannya, di-buruk sangka-i atau di-baik sangka-i, Tuhan ya Tetap Tuhan. Tidak akan berkurang Dzat dan kekuasannya. Yang celaka, buruk sangka dan baik sangka akan berpengaruh kepada kita sendiri. Akhirnya baik sangka akan melahirkan semangat untuk bangkit keluar dari masalah. Sebaliknya buruk sangka membuat kita lemah dan putus asa. Kenapa? Perbedannya satu yaitu legowo menerima cobaan.
Ada waktu-waktu dimana manusia begitu dekat dengan Tuhannya, dekat dan sangat dekat. Kedekatan yang hampir tidak bisa dibahasakan seperti kedekatan dua orang sahabat atau kekasih. Ini disebut momen puitis yang hanya bisa dirasakan tanpa mengaktifkan panca indra Penglihatan dan pendengaran.
Ibnu Arabi menentang kaum Mujassimah yang "Tasybih" menganggap pendengaran dan penglihatan Tuhan seperti manusia, juga menentang Asy'ariah dan mu'tazilah yang menganut Faham Tanzih menjauhkan Tuhan dan manusia dari kemiripan.
Ibnu Arabi Menggabungkan antara Tanzih dan Tasybih yaitu, Tuhan mirip manusia juga tidak mirip. Seluruh sifat pada manusia adalah turunan dari Tuhan, bagaimana mungkin tidak mirip ada tiupan Ruh dari Tuhan kok. Tapi derajat sifat pada manusia sangat sangat rendah ketimbang Sifat Tuhan. Mungkin itulah alasan, Agung bisa lebih dekat kepada Tuhan ketimbang kita yang lengkap indranya. Sekali lagi Tuhan datang dalam keadaan Tenang dan romantis tidak ada halangan dari indra.
Majene, 24 Februari 2021
Comments
Post a Comment