RESOLUSI KONFLIK ISRAEL-PALESTINA




Webinar ketiga oleh Zain office digelar dengan mengusung tema: "Membincang krisis GAZA terkini dan prospek Resolusi konflik Israel palestina" Minggu, 23 Mei 2021.

"Kita ini  mau menciptakan cara pandang dan perspektif baru terhadap timur tengah, kita ini mesti merefresh dan mengupdate pengetahuan kita tentang konflik antara Palestina dan Israel, pengetahuan itulah yang harus kita kembangkan" Sambutan dari Dr. Muhammad Zain Direktur Zain Office. 

Narasumber Dr. Mulawarman Hannase memulai pemaparannya dengan mengatakan bahwa "Yahudi garis keras sangat mendominasi di Israel”. Tumbuh kekuatan kelompok kiri yang menentang kebijakan-kebijakan damai perdana menteri Benjamin Netanyahu. Kondisi ini memicu konflik internal di Israel, dan mempersulit penyelesaian konflik secara damai. Imbasnya ketika Netanyahu menang tipis dalam pemilu. Pemerintah Israel kesulitan untuk mengimplementasikan kebijakan strategis dalam menemukan penyelesaian konflik secara diplomatik. Sehingga membentuk pemerintahan juga banyak tumbuh kelompok kiri, pejuang kebebasan dan konservatisme.

Tradisi politik Israel kalau mau mendapat dukungan banyak, ya harus bersikap tegas pada Palestina, begitu cara rezim Israel untuk membangun kekuatan dan simpati politik. Bahkan Konflik internal mereka tidak tanggung-tanggung diselesaikannya dengan cara agresi militer ke Palestina. Lebih parah lagi, rencana pemindahan ibu kota Israel ke al-Quds, dan Itu agenda Netanyahu dan Donald Trump. Bahasa sederhananya, setiap ada pemilu, pasti ada konflik. 

Tahun 2004, Yasser Arafat, dalam perang gaza Israel ada Hamas yang berjuang. Yasser Arafat memimpin partai Fatah dan PLO.  Hamas juga mendukung Yasser Arafat, namun Hamas saat ini menjadi partai politik yang berideologi Ikhwan al-muslimin. Dulu Hamas hanya membantu orang terluka peperangan, hanya sebagai Volunteer. Bergerak Di kampus-kampus dan membuka diskusi. 

Setelah Yasser Arafat meninggal, maka Hamas membentuk gerakan politik (Political develoment) biasanya ormas dibentuk dan ujung-ujungnya menjadi partai. Tahun 2006 Hamas ikut pemilu dengan dorongan penuh dari Fatah. Malah justru Hamas yang menang. Kenapa? Alasannya sederhana, karena paling gigih dan keras kepada Israel adalah Hamas, bukan Fatah. 

Konflik internal Hamas dan Fatah mulai terjadi. Meskipun banyak kelompok lain seperti Hizbuttahrir ada juga partai Sosialis komunis di sana. Namun yang dominan hanya pertarungan antara Fatah dan Hamas. Fatah menempuh jalur diplomasi, di dalamnya ada nasionalis dan sekuler, sementara Hamas diisi kelompok islamis. Dengan catatan, persoalan agama harus selesai dengan agama juga, bukan yang lain.

Bentuk negaranya seperti apa? Republik, demokrasi atau islam. Mereka masih berdebat dan panjang prosesnya. Sementara Wilayahnya hanya 15% untuk Palestina, dan selebihnya 85% dikuasai Israel. Hamas tidak mau menerima. Fatah ingin menerima itu. Persoalan batas negara menjadi masalah lagi bagi internal Palestina. 

Masalah pengakuan, Solusi dua negara harus saling mengakui di antara keduanya, begitu juga PBB harus mengakui. Tapi secara peta geografi tidak diakui oleh Google. Kalau kita buka google, peta Palestina, tidak ada, melainkan Israel yang ada. Mungkin karena yang punya google adalah Yahudi. Demikian pula halnya dengan facebook, Mark Zuckerbreg (CEO FB).

Batas wilayah Palestiba pada tahun 1967 diberikan 25% tapi Israel menolak. Dan sekarang porsi Palestina 15% dan 85% untuk Israel.

Pada masa pemerintahan Barack Obama, PBB hampir mengakui kemerdekaan Palestina, tapi parlemen Amerika menolak. Lobby Yahudi luar biasa disana, kalau saja Obama mengakui kedaulatan Palestina, bisa jadi dia dilengserkan. Bisnis senjata Amerika ke Israel tiap tahun itu mencapai 5 Triliun.

Pada masa Donald Trump alih-alih pengakuan, ini malah menganjurkan untuk menjadikan ibu kota Israel di sana. Konflik internal juga menjadi masalah terbesar. Pada konteks lain, kita bisa melihat aliansi timur Tengah juga memanas. Cara pandang israel-palestina, padahal UEA dan Mesir memilih berdamai dengan Israel. 

UEA sangat dekat dengan Israel, sebab memiliki bisnis minyak dengan Amerika, menjadi sumber utama energi di Amerika dengan Aramco (Arab-America Corporation).  Begitu juga dengan Iran, sebenarnya Iran melawan Israel, sebab Hamas disuplai senjata dari iran. Meskipun lokasi perangnya tidak langsung dari Teheran, Iran.

Dalam wacana ideologi, banyak yang anti syiah, tapi pro Hamas, sekilas ini kontradiksi. Hamas diperkuat oleh Iran, Hamas pro iran kita malah menyesatkan orang-orang syi'ah. 

Adalah sulit terjadi resolusi konflik di Palestina. Ada yang berpendapat bahwa Hamas mendapat dukungan dari negara Timur Tengah hanya sekedar lips service (basa-basi) dikarenakan perbedaan ideologi. 

Lalu bagaimana sikap Indonesia? Ada 2 level yaitu Level Pemerintah dan level Civil Society. Hubungan Indonesia Palestina adalah doktrin, humanisme dan ideologi. Masyarakat Indonesia sudah dari dulu pro Palestina. Dorongan kepedulian kepada sesama harus digalakkan. Semua Ormas yang ada di Indonesia membentuk ukhuwah islamiyyah sebagai bentuk kepedulian kepada rakyat Palestina. Bahkan sholat dan khutbah jum'at di dalamnya ada do'a untuk keselamatan warga Palestina. 

Resolusi konflik bisa dicapai, dengan jalur diplomasi dan politik damai. Apapun sumbangan ke Palestina mestinya melalui dubes Palestina di Indonesia. Ternyata masyarakat Indonesia 89% menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Masyarakat Indonesia juga banyak mendukung Palestina bukan dari jubah agama atau sukunya, tapi kemanusiaan. Presiden Soekarno sangat keras kepada Israel. Jelas sekali dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. 

Level negara, Israel pernah membujuk Soekarno, namun Soekarno berdiri tegak di belakang Palestina. Begitu juga Presiden Jokowi mengirim Mentri Luar Negeri Retno Marsudi ke PBB untuk menegaskan keberpihakan kepada Palestina. Gus Dur pernah mewacanakan untuk membuka hubungan diplomatik tahun 2001- 2002, tapi ditolak banyak kalangan. 

Sesungguhnya gagasan Gus Dur ini adalah cara lain untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Apa yang dipraktekkan UEA dan Bahrain hari ini sudah dipikirkan Gus Dur jauh  sebelumnya. Untuk menekan Israel tidak boleh dengan senjata. Israel mesti didekati dengan jalur diplomatik untuk menekan agresi militernya. Patut dicatat bahwa warga dunia mengharapkan agar Israel menahan diri dan menghentikan agresi militernya kepada warga Palestina. By: Farham Rahmat


Minggu, 23 Mei 2021

Comments

Popular posts from this blog

Tips Berbahagia Ala Aristoteles

Hanya Homo Symbolicum yang Memahami USSUL

PESAN SAKTI RANGGAWARSITHA