ANTARA HOMO SAPIENS, HOMO DIGITALIS DAN HOMO BRUTALIS


 Farham Rahmat

Yuval noah harari sudah menulis Homo Sapiens, kemudian perlahan akan menjadi Homo Deus yaitu manusia yang mampu menentang kematian dengan kecanggihan teknologi. Hari ini, kita berada pada era Homo Digitalis, kadang-kadang jadi Homo Brutalitas. Semua punya potensi untuk Brutal. Yuval sepertinya luput perhatian bahwa apapun nama homonya, tetap karakter brutal itu tetap ada. Jadi homo deus super power juga potensi akan merusak yang lain.

Apalagi homo digitalis. Kebebasan tidak terkendali, tidak ada pengawasan moral didalam digital. Eksibisionisme, narsisme, voyerisme mendapat panggung di ruang digital tanpa pengawasan hukum etika.

 
Homo digitalis dia seperti membentuk negara baru tanpa norma. Digital state of nature adalah suatu kondisi dimana keadaan adil tidak adil buram, benar salah tidak jelas. Kecanggihan gawai membuat penggunanya tidak sadar kalau mereka menjadi homo brutalis.

Kebahlulan suci gampang tercipta. Karon Lanier mengatakan: "Masalahnya bukan modifikasi perilaku itu sendiri, masalahnya adalah modifikasi perilaku yang terus menerus robotik tidak bermakna, untuk melayani manipulator tak kasat mata dan algoritma yang dingin"

Jalan kesalehan ke Brutal bisa berubah hanya dengan satu klik. Pada saat era komunikasi yang bebas, kita malah dikendalikan oleh mesin cerdas Facebook, YouTube, twitter dan Instagram. Filsafat sudah mempermasalankan dari dulu antara free will dan determinisme. Tapi terbentuk dalam kata baru yaitu "Nitizen, digital surveilance, panoptikum dan echo chamber dan Hoax"

Ruang digital tidak ada zaman, status sosial dan hirarki nilai. Bahkan bisa menggengam waktu dengan save as, bookmarks, history dan cache. Tapi homo digitalis akan dihantui oleh mesin waktu. Homo digitalis bisa melupakan, tapi komputer tidak. Akhirnya dia akan menuntut "Right to be forgotten" Hidup bahagia tanpa dibayang bayangi jejak digital ketidaksempurnaannya. Ketidakterbatasan sekaligus keterbatasannya.

Sewaktu waktu digital akan menjadi produsen dan penerbit tanpa sensor. Privat jadi publik, publik jadi privat. Pesan pesan politis menyusup ke setiap kamar privat. Itu bisa digapai dengan satu klik aja, yang penting provokator, tolak ukur sensasi, bukan rasional,  menjadi kreativitas, takhayul menjadi masuk akal. Asalkan sensaional. Pertarungan Logos dan mitos di zaman filsafat kuno berhenti ketika pesan masuk kedalam digital. Sama sama benar adanya. Semua menghibur otak yang lelah.

Satu lagi, sikap demokrasi semakin mudah di dunia digital. Bayangkan aja, untuk mengkritik kita tidak perlu untuk orasi di jalan, mengepalkan tangan dan amarah ditunggu sampai mendidih. Kebencian dan prasangka bisa diplintir di satu klik. Sambil seruput kopi di warteg mob sudah terbentuk, provokasi dilempar, aksi massa diluncurkan. Atau melakukan persekusi terhadap agama lain.

Bahayanya, alasan untuk membenci, bukan murni dari orang, melainkan hasil olahan algoritma media-media sosial, lalu memecah masyarakat menjadi kawan dan lawan. Ini dilakukan dengan konten digital yang diproduksi oleh akun anonim. Jadi kita bukan hanya pelaku sejarah, melainkan menjadi objek manipulasi mesin dan perintah sistem komunikasi.

Dulu kaum marxis sosialis membayangkan masyarakat tanpa kelas, tembok pemisah dihancurkan. Hirarki sosial dihilangkan, sehingga tidak ada batas komunikasi antara manusia. Revolusi digital mengantar kita kesana. Namun ini akan menjadi utopis selama hoax merajalela. Katakanlah sosialisme marxis, masih butuh tubuh untuk revolusi proletar. Sementara mesin di era kapitalis bergerak tanpa fisik. Mengganti otak, perilaku dan emosi manusia diarahkan oleh mesin digital.

(Refleksi Buku Aku Klik Maka Aku ada: Budi F Hardiman)

Polewali, 26 September 2021

Comments

Popular posts from this blog

Tips Berbahagia Ala Aristoteles

Hanya Homo Symbolicum yang Memahami USSUL

PESAN SAKTI RANGGAWARSITHA