KENA MENTAL: TASAWUF DAN DIGITAL
(Gambar: Lukisan di Olshop)
Kena mental sebuah istilah yang muncul baru-baru ini. Kalau gak salah dipopulerkan generasi millenial yang akrab dengan tiktok dan game Mobile legend. Ia menggambarkan suatu kondisi down, perasaan yang sedih takut dan terkucilkan.
Nitizen orang Indonesia biasanya suka konten bernuansa mental. Kita disuguhkan dengan sajian orang baku hantam, saling gertak, remaja bucin, skenario hantu-hantuan, perselingkuhan bahkan hal hal yang menjijikan. Kadang-kadang ada yang sengaja joget-joget dan teriak kencang didepan umum. Teman saya bilang: "Hari ini, demi konten, urat malu putus"
Tapi gak apa-apalah, namanya juga usaha kan ya? Tapi jangan sampai aja isi kontennya adu domba dan menebar kebencian, fitnah, apalagi sampai merendahkan martabat orang, suku apalagi negara tanpa data dan fakta. Dan satu lagi, kalau bisa konten seksi-seksi dikurangi. Si kaco gak tahan tuh: "Gimana gak gila, kontennya banyak orang mulus" kata dia sambil ngelus dada.
Dominasi digital semakin besar. Tapi ada yang ganjil, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, ada hal yang luput dari perhatian generasi milenial hari ini. Hati-hati dengan karakter yang terbentuk oleh dunia maya, biasanya dia ciut di dunia nyata. Ada beberapa alasan sih mengapa begitu.
Digital mengajari kita berkamuflase, yang tampil bukan yang sebenarnya. Biasanya itu terjadi di fisik dan kata-kata. Sangat jarang kita temui ada orang setting photo profil atau posting photo gak diseleksi dulu. Pasti ia mencari mana yang terbaik, tercantik dan terganteng kan? Itupun kalau udah ketemu, aplikasi edit-editan ikut membantu.
Begitu juga dengan kata-kata, banyak sekali yang bijak udah kayak pakar. Kebanyakan bicara agama namun gak pernah mondok. Akhirnya posisi Ulama juga digeser tuh. Semua bisa bicara, tanpa memperhatikan sisi keilmuannya. Satu lagi, ini juga banyak termasuk saya, wkwkwkw. Kata-kata motivasi apakah itu dari ulama atau dibuat oleh pakar yang lain. Biasanya dikutip, diposting lalu dishare. Padahal gak gitu-gitu amat sih sikap dan perilakunya.
Saya contohnya, post kalimat: "Bagaimana mungkin hal luar biasa mendatangimu sementara kebiasaanmu hanya biasa-biasa aja (Ibnu Atha'ilah)" Tapi kehidupan sehari-hariku biasa biasa aja, bahkan banyak maksiat. Ini yang saya maksud kamuflase digital. Apa yang tampil jangan dinilai benar adanya, semua itu hanya topeng. sebab itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Kalau istilah politiknya "Personal Branding"
Sebenarnya yang rusak adalah mental, istilah tasawufnya batin. Karena lebih mengutamakan penampilan fisik, wajah diperindah dengan segala macam serum dan skincare, lalu dibantu dengan aplikasi. Tubuh dibuat kencang dan berotot sibuk latihan gym. Asupan nutrisi kita berikan kepada fisik, pola makan, perawatan dan pemasaran digital diatur.
Kita lupa memberikan nutirisi batin. Padahal sakitnya batin sampai ke akhirat, fisik mah sakitnya cuman nyampe dunia aja. Teringat pesan Ali bin Abi thalib: "Saya terheran-heran pada mereka yang fokus memperbaiki fisik, dan melupakan batinnya. Padahal sakitnya fisik cuman didunia doang, sakitnya batin ampe kebawa ke akhirat" Bisa dibayangkan mental yang sehat justru itu yang bisa menyelamatkan kita nanti. Tapi kok kita malah sibuk mempercantik fisik sih?
Memperbaiki mental gak ada jalan lain selain belajar tasawuf dan akhlak. Kalau saya sih, rekomendasi paling bagus ya masuk pondok, kalau nggak ya belajar Ihya virtual sama Gus Ulil, atau konten tasawuf lainnya. Bonus demografi sudah dirancang, mau gak mau selain skill, mental juga harus matang untuk bersaing.
Pokoknya yakin dah, generasi yang kuat mental tidak gampang galau, tidak merasa terkucilkan, tidak mudah marah, tidak sombong pastinya, selalu care dengan sesama, selalu bahagia, semangat dan penuh keyakinan. Satu lagi, ini paling penting, kalau kuat mental kita: "Ketika cinta hilang gak ada perih, cinta datang gak ada gurih"
Luyo, 1 September 2021
Comments
Post a Comment