Memasuki Era VUCA, Simplicity dan Agility Sebuah Keharusan
Apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para admin berupaya untuk bertemu di kota Pahlawan Surabaya. Dalam Buku Mindset karya Jhon Naisbitt mengakatan "Satu gambar lebih dari 1000 kata, tetapi kehadiran seseorang dalam pertemuan itu lebih dari 1000 gambar" Dr. Muhammad Zain memulai sambutannya di Kegiatan Workshop Admin KKGTK, bertempat di Royal Tulip Hotel Surabaya, Rabu 25 Mei 2022.
Semua yang hadir, kita apresiasi, karena tidak semua persoalan yang rumit bisa terbaca dan dipelajari dengan baik melaui surat edaran, website tidak semua mampu dibaca dengan baik, apalagi regulasi dan turunan-turunanya, biasanya hanya pada judulnya tidak pada detailnya.
Makanya hari ini kita berkumpul bukan sekedar temu kangen. Tapi juga punya maksud agar semua regulasi bisa difahami dengan baik, sehingga semua kegiatan berjalan dengan lancar. Satu contoh kecil, masih ada yang bertanya tentang tukin tunjangan kinerja Guru, padahal itu sudah selesai di tahun 2021, baru sadar di tahun 2022. Anggarannya sudah ada di tahun lalu, baru sadar tahun sekarang. Mestinya harus berjuang dengan kekeh pada saat momentum itu ada.
Juga ada bantuan pokja KKG, anggaran sudah kembali ke negara baru melapor proposal. Ada juga sudah diberikan anggaran, tapi tidak bisa dikelola dengan baik, sehingga kembali ke Negara, itu masalah karena tidak memahami regulasi. Artinya apa, silaturahmi nya kurang. Paling tidak ada Empat Pesan yang penting disampaikan oleh Muhammad Zain sebagai Direktur GTK Madrasah Kementrian Agama RI kepada Para Admin di seluruh Indonesia.
Yang pertama, Bicara silaturahmi, bukan hanya jabat tangan, ada juga silaturahmi via online. Maksudnya Proposal Harus ada dua, soft copy dan hard copy. Selain face to face harus face to maya. Karena meskipun puluhan kali berjabat tangan dengan direktur GTK kalau proposalnya tidak dj submit, proposalnya juga tidak bisa goal, tidak terdaftar. Karena kita bekerja sesuai dengan aplikasi.
Begitu juga dengan kegiatan, untuk mendapatkan bantuan dari 120 Miliyar itu harus dengan aplikasi. Meskipun puluhan kali pertemuan, namun tidak selesai laporan via online nya itu juga pasti bermasalah. Semua kegiatan mesti punya output online disertai offlinenya.
Yang kedua, Regulasi itu harus simple. Ada buku The Simplicity playbook for innovators karya Jin Kang Moller, dijelaskan bahwa persoalan kita hari ini kita masuk ke dunia Vuca, yaitu Volatility (Gejolak), Uncertainty (dunia tidak pasti) Complexity (Kompleks), Ambiguity (Ambigu), dunia hari ini bergerak pada ketidakpastian, maka itu semua mesti berdasar kesederhanaan, agar semua orang bisa memahami dengan baik.
Satu contoh, Sistem kerja Facebook begitu rumit, tapi dia mencipta Simplicity sehingga kita bisa meng upload semua disana. Handphone, sangat rumit dalam sistem kerjanya, belum ada orang Indonesia yang mampu membuatnya. Tapi ketika jadi, ia bisa digunakan dengan mudah bahkan bisa dimainkan oleh anak anak. Ini kekuatan simple.
Begitu juga dengan guru-guru. Jika ada guru yang rumit menjelaskan pelajaran, maka pasti siswa pasti bosan dan tidak diminati mata pelajarannya. Pelajaran yang mestinya gampang ini malah dijadikan rumit. Uang rakyat yang diamanahkan kita harus gunakan sebaiknya untuk kualitas anak dan pencerdasan bangsa.
Yang Ketiga, Agility, kelincahan. Salah satu instrumen untuk mencapai itu harus kita libatkan Teknologi. Siapa yang tidak melibatkan teknologi ia akan jauh tertinggal, dan kerepotan dalam bekerja. Jim Collins menulis buku Good to Great, disana dijelaskan kalau mau hebat dalam bekerja, maka ia harus Mempunyai leadership level lima.
Pertama, Highly Capable Individual (kemampuan diatas rata-rata) . Kedua, Contributing Team Member (Keterlibatan Anggota tim). Ketiga, Competent manager (Kecakapan menejer). Keempat, Effective Leader (Pemimpin yang Menerapkan efektifitas) Kelima, yang tertinggi adalah Executive. Namun, diantara lima ini, ada satu item yang ditekankan yaitu melibatkan teknologi.
Terakhir, semua anggaran yang kita gunakan harus berlandaskan dengan pertanyaan apa dampaknya?, ia menyelesaikan apa? Ia menghasilkan apa? Sasarannya apa? Jangan sekedar menghabiskan, ia harus bisa mengefisienkan dan tepat sasaran untuk pencerdasan anak-anak bangsa. Sebab satu rupiah investasi ke infrastruktur hanya akan mengembalikan 1 rupiah saja. Jika kita investasi untuk pendidikan, maka ia akan memberikan lebih dari satu rupiah.
Comments
Post a Comment