Dari Kematian, Takziah hingga Persatuan Ummat
Suatu waktu ada Cucunda Nabi Besar Muhammad SAW bernama Muhammad Al-jawad. Beliau mengunjungi sahabatnya yang sedang sakit, dan sahabatnya ini melontarkan pertanyaan kepada Imam Al-jawad "Ya Imam, sekarang ini saya sangat merasakan ketakutan menghadapi kematian. Beritahu saya apa dan bagaimana itu kematian, agar aku bisa tenang"
Imam Al-jawad menjawab: "Apa kau pernah melihat seorang anak di waktu pagi, dimandikan, diberi wangi-wangian lalu kenakan pakaian oleh ibunya kemudian disuruh pergi bermain. Ada anak yang datang setelah dzhuhur ada yang sebelum dzhuhur, ada juga anak yang datang kalau dicari dan dibawa pulang"
Ketika seorang anak pulang ke rumahnya, sang ibu menyambutnya, dibersihkan, disuapi makanan dan diistirahatkan. Analogi ini menggambarkan kematian, yang waktu masih hidup kita keluar rumah bermain dan ketika sudah meninggal adalah suatu kondisi dimana kita kembali kerumah dalam pelukan sang ibu, Imam Al-jawad melanjutkan.
Lalu, apa yang mesti dipersiapkan ketika bertemu sang ibu kembali? Ada dua pandangan ulama yang berbeda. Pertama, Ibnu Sina mengatakan bahwa tubuh ini hanya wadah untuk menampung Ruh, ketika wadahnya sudah tidak berfungsi dengan baik maka Ruh akan pergi. Seperti sebuah rumah yang sudah rusak tidak layak huni, maka penghuni rumah akan pergi.
Karena Ibnu Sina adalah seorang pilsuf dan dokter, maka epistemologi yang digunakan sangat bersifat empiris dan aqliyat. Dalam arti kata jika ingin panjang umur atau bertahan lama Ruhnya dalam badan, ya tiada jalan lain kecuali anda menyehatkan badan. Biasakan pola hidup sehat, makan makanan sehat juga jangan selalu begadang. Tapi dalam kenyataannya, begitu banyak orang sakit bahkan parah tapi belum sampai waktunya meninggal dan berapa banyak orang kelihatan sehat tapi langsung meninggal.
Baiklah, ini tidak bisa diterima begitu saja. Namun apapun itu kesehatan adalah hal terpenting dalam hidup. Kita tidak bisa menjalankan ibadah dengan khusyuk kalau kepala, perut dan anggota tubuh lain menderita sakit. Kita tidak bisa membantu banyak orang kalau kita sendiri sakit. Kita tidak mampu berjuang menegakkan Agama Allah kalau tubuh kita sakit.
Yang kedua, ini pendapat Pilsuf dan Ulama Mulla Shadra. Menurutnya kematian adalah puncak kerinduan jiwa kita kepada sang pemilik Jiwa. Sehingga ada cerita karikatur dari pambusuang mengatakan: "Jika anda ingin panjang umur ya berbuat jahatlah. Alasannya sederhana, kematian itu adalah kesempurnaan kerinduan yang dipicu oleh perbuatan-perbuatan baik, jadi orang berbuat jahat pasti belum sempurna kerinduan kepada sang Khalik, sehingga diberikan kesempatan untuk hidup lebih lama lagi untuk meraih kesempurnaannya.
Pendapat ini juga tidak bisa kita telan mentah-mentah, karena begitu banyak orang baik tapi masih hidup bahkan panjang umur, seperti Orang tua Kita Yusuf Tuali dan Alm Puang A'ba Alimuddin Lidda. Dan begitu banyak orang jahat tapi singkat kehidupannya bahkan meninggal dalam keadaan maksiat. Meskipun demikian, mengikut kepada dua pendapat ini kita memang perlu dua-duanya yaitu menjaga kesehatan dan berma'rifah kepada Allah.
Yang paling penting adalah Ma'rifatullah. Ada dialog kecil antara Habib Ahmad Fadhl Al-Mahdaly dan Nenek beliau. Nak, kamu tahu nggak kenapa malas sholat? Itu karena kamu belum tahu manisnya beribadah, belum tahu nikmatnya keta'atan kepada Allah. Ia seperti orang yang sangat doyan bubur kacang ijo, mandar menyebutnya Ule-ule. Ia tidak akan pernah merasakan malu makan banyak di tengah-tengah orang banyak, begitu nikmatnya itu Ule-ule, seperti itulah ibadah.
Lalu apa pentingnya kita bertakziyah, mengunjungi kediaman duka? Sebenarnya identitas muslim itu hanya dua. Yaitu melibatkan diri pada saudaranya yang dirundung duka. Disaat kita ikut berduka ketika saudara kita berduka, berarti dalam dirimu sudah ada islam tanpa butuh detektor dan verifikasi dari orang lain. Begitu juga ketika saudaramu tengah berbahagia, kita juga ikut berbahagia.
Sehingga ada ungkapan filosofi orang tua kita dulu mengatakan, engkau akan sampai pada level Ma'rifatullah yang sebenarnya ketika engkau melihat dirimu didalam bentuk dirinya. (Iya pa na mulambi'i pappejappu tongan-tongan kambe, mua muita alawemu dio dzi parammu rupa tau) artinya perlakuan kita kepada orang lain sama seperti perlakuan kita kepada diri sendiri.
Itulah mengapa Sholat berjamaah sengaja diiming-imingi pahala 27 kali lipat, begitu Islam sangat memperhatikan persatuan dan persaudaraan. Lima kali dalam 24 jam bertemu wajah di masjid, itu akan memberi efek cinta kepada sesama. Sekedar usulan, mestinya design masjid itu dibuat satu pintu saja, agar semua orang bisa langsung bertemu, kalau tiga pintu kan masih ada celah bagi yang saling membenci untuk tidak bertemu wajah.
Penting difahami bahwa Subtansi berjamaah adalah membangun Ruhani persatuan. Jika ada orang berjamaah an sih tapi dalam dirinya dipenuhi kebencian kepada sesama artinya belum memahami subtansi jama'ah. Sebenarnya jauh lebih tenang sholat sendirian, tidak ada gangguan, kecil kemungkinan terjadi riya' dari perhatian masyarakat.
Tapi Nabi tetap memerintahkan Sholat di masjid berjama'ah meskipun dengan beberapa hal yang menjengkelkan. Imam bacannya panjang, anak-anak ributnya bukan main. Khatib lama bicaranya. Kenapa demikian, begitu ditekankan, karena cita-cita berjmaah adalah harmoni sosial.
Kecenderungan masyarakat kita sangat suka berdebat kusir, mulai dari hal besar sampai hal kecil diperdebatkan, ini juga ciri masyarakat yang tidak produktif. Itulah mengapa Islam mengajak kita untuk lebih memperkuat persatuan dalam harmoni sosial. Wa'tashimuu Bi Hablillah Wa Laa Tafarraquu.
Wallahu A'lam.
(Ditulis dari Penuturan Habib Ahmad Fadhl Al-Mahdaly Di Acara HAUL Drs. A'ba Alimuddin Lidaa)
Comments
Post a Comment